SURABAYA, headlinejatim.com– Kepulangan jemaah haji Kloter SUB 32 asal Jawa Timur diwarnai kisah haru yang menyentuh. Di antara ratusan jemaah yang tiba di Asrama Haji Surabaya pada Sabtu dini hari (21/6), terdapat nama Isnaini, seorang ibu rumah tangga berusia 50 tahun asal Jenggawah, Kabupaten Jember, yang membawa pulang lebih dari sekadar kenangan spiritual dari Tanah Suci.
Bersama mertuanya, Asmuni (75), Isnaini mengungkap rasa syukur karena bisa menjalani seluruh rangkaian ibadah haji dengan lancar dan pulang dalam keadaan sehat walafiat. Namun di balik senyumnya, tersimpan luka yang belum sepenuhnya pulih.
“Seharusnya kami berangkat bertiga, saya, suami, dan ayah mertua. Tapi tiga hari setelah pelunasan biaya haji, suami saya meninggal dunia,” tutur Isnaini, dengan mata berkaca-kaca.
Ia menceritakan, peristiwa itu terjadi menjelang Ramadan. Suaminya yang sehari-hari bertani tampak sehat dan tetap bekerja seperti biasa. Bahkan pada siang hari sebelum wafat, keluarga mereka masih sempat berkumpul dan bercanda.
“Tak ada riwayat penyakit. Saya yang malah punya hipertensi. Tapi sore itu, tiba-tiba beliau meninggal. Katanya karena serangan jantung,” kenangnya pelan.
Kehilangan itu mengguncang batinnya. Ia mengaku sempat bimbang, apakah akan tetap melanjutkan keberangkatan haji atau tidak. Namun setelah merenung dan mengingat penantian panjang selama 13 tahun sejak mendaftar pada 2012, Isnaini memutuskan untuk berangkat.
“Nama suami tidak kami alihkan. Kami putuskan dibatalkan saja. Saya lanjutkan niat ini dengan hati yang kuat,” ungkapnya.
Di Tanah Suci, Isnaini merasa banyak kemudahan yang menyertainya. Ia dan sang mertua bahkan tinggal di lantai yang sama di hotel penginapan, memudahkan mereka saling menjaga.
“Alhamdulillah, ayah mertua sangat kuat meskipun sudah 75 tahun. Tidak perlu kursi roda dan bisa berjalan sendiri,” ujarnya.
Salah satu pengalaman paling membekas bagi Isnaini terjadi saat berangkat dari Muzdalifah menuju Mina. Karena kepadatan luar biasa dan kemacetan bus, ia dan rombongannya memilih berjalan kaki.
“Kami tidak ingin terlambat. Jadi kami putuskan berjalan bersama. Rasanya melelahkan, tapi sangat berkesan. Ada kebersamaan, semangat, dan rasa senasib di antara sesama jemaah,” katanya.
Namun pengalaman paling menyentuh datang ketika ia berada di Jabal Rahmah, Padang Arafah.
“Tiba-tiba saya melihat seseorang yang sangat mirip suami saya. Saya coba mendekat, tapi orang itu hilang di kerumunan. Sejak itu, saya merasa seperti benar-benar bersua beliau di sana,” ujarnya lirih.
Isnaini mengatakan bahwa sepanjang ibadah, ia tak henti mendoakan almarhum suami dan keluarganya.
“Saya memohonkan ampunan untuk suami, untuk saya, untuk semua keluarga. Saya juga berdoa semoga kami dikaruniai anak-anak yang sholih dan kelak bisa kembali ke Tanah Suci bersama-sama,” harapnya.
Kisah Isnaini menjadi pengingat bahwa ibadah haji bukan hanya tentang fisik yang kuat, tetapi juga tentang hati yang lapang menerima takdir. Di antara jutaan langkah yang beriringan menuju Baitullah, ia membawa luka, cinta, dan doa yang dalam, dan pulang dengan keteguhan yang tak tergoyahkan.