DPRD Jatim Dorong Raperda Perlindungan Perempuan dan Anak, Satu Payung untuk Lawan Kekerasan

Surabaya, headlinejatim.com — DPRD Jawa Timur melalui Komisi E menggulirkan inisiatif penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak. Langkah ini menjadi bentuk koreksi sekaligus penyatuan dari dua regulasi sebelumnya yang dinilai tidak lagi relevan dengan tantangan kekerasan masa kini.

Ketua Komisi E DPRD Jatim, Sri Untari Bisowarno, menegaskan urgensi regulasi ini muncul dari meningkatnya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Mulai dari korban pedofilia, eksploitasi seksual, hingga anak-anak yang terjerat narkoba menunjukkan bahwa sistem perlindungan masih jauh dari kata tuntas.

Read More

“Kita harus akui, perlindungan yang ada belum utuh. Dari rumah tangga hingga ruang digital, banyak celah yang belum terjangkau,” ujar Sri Untari dalam Sidang Paripurna, Senin (23/6).

Raperda ini dirancang untuk menyatukan dan memperkuat dua perda lama, yaitu Perda No. 16 Tahun 2012 tentang Perlindungan Anak dan Perda No. 2 Tahun 2014 tentang Kesetaraan Gender. Dengan pendekatan baru yang lebih menyeluruh, perlindungan diharapkan bisa hadir dari hulu ke hilir. Mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, hingga ranah daring.

Wakil Ketua DPRD Jatim, Blegur Prijanggono, menyebut langkah ini sebagai bentuk konkret respons terhadap jeritan masyarakat akar rumput.

“Ini bukan sekadar soal regulasi. Ini tentang menciptakan ruang yang aman, inklusif, dan berkeadilan bagi mereka yang selama ini paling rentan,” tegasnya.

Dukungan juga datang dari Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur, Adhy Karyono, yang menilai pentingnya satu regulasi terpadu agar pelaksanaan di lapangan tak berjalan parsial. Ia menyoroti meningkatnya kekerasan berbasis digital seperti cyberbullying, yang menjadi ancaman nyata bagi generasi muda.

“Paparan internet sangat mempengaruhi pilihan hidup anak-anak, termasuk memicu perkawinan dini. Negara tidak boleh lengah dalam ranah ini,” ujar Adhy.

Angka Kekerasan Masih Mengkhawatirkan

Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) Kementerian PPA, Jawa Timur mencatat 972 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 1.531 kasus terhadap anak pada 2023. Angka tersebut belum banyak berubah pada 2024, dengan 771 kasus perempuan dan 1.103 kasus anak hingga pertengahan tahun ini.

Puguh Wiji Pamungkas, Juru Bicara Komisi E, mengungkapkan bahwa bentuk kekerasan paling dominan adalah kekerasan seksual. Ia juga menekankan bahwa perkawinan anak masih menjadi masalah besar yang kerap dianggap sepele, padahal berdampak sistemik.

“Perkawinan anak bukan hanya soal adat, tapi soal masa depan yang hilang. Kita butuh landasan hukum yang kuat untuk mencegahnya,” ujar Puguh.

Data mencatat, lonjakan dispensasi kawin menjadi sinyal bahaya. Dari 5.799 kasus pada 2019, melonjak drastis menjadi 17.214 pada 2020. Meski mulai menurun, angka tetap tinggi dengan 12.334 kasus pada 2023 dan 8.753 kasus pada pertengahan 2024.

Perlindungan di Era Digital

Raperda ini juga akan memuat tata kelola perlindungan berbasis teknologi informasi. Komisi E mendorong kehadiran sistem digital yang mampu mendeteksi, menanggapi, dan mencegah kekerasan secara real time.

“Tanpa sistem digital yang kokoh, kita selalu tertinggal. Korban muncul lebih cepat daripada negara bisa hadir,” tegas Puguh.

Langkah DPRD ini diharapkan menjadi pijakan awal untuk kolaborasi yang lebih kuat antara legislatif, eksekutif, dan masyarakat. Target utamanya: menjadikan Jawa Timur sebagai pelopor provinsi ramah perempuan dan anak di Indonesia.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *