Hari Pelayanan Publik Dunia: Saatnya Indonesia Berkaca dan Mengabdi Sepenuh Hati

headlinejatim.com —Tanggal 23 Juni diperingati dunia sebagai Hari Pelayanan Publik Internasional (United Nations Public Service Day). Penetapan ini dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak tahun 2003, melalui resolusi Majelis Umum PBB Nomor A/RES/57/277. Tujuannya sederhana namun mendalam: memberi penghormatan kepada perempuan dan laki-laki yang mengabdikan hidupnya dalam pelayanan publik, sekaligus mendorong reformasi birokrasi demi terwujudnya pemerintahan yang efektif, transparan dan inklusif.

Pelayanan publik bukanlah sekadar urusan prosedur dan administrasi. Ia adalah wajah pertama negara yang bersentuhan langsung dengan rakyat. Dari pelayanan kesehatan, pendidikan, hingga perizinan usaha, semua terhubung pada satu kata kunci: kepercayaan. Ketika pelayanan publik bermartabat, maka rakyat percaya. Sebaliknya, ketika birokrasi berjalan lamban, berbelit dan mempersulit, maka negara pun tampak jauh dari rakyatnya.

Read More

Sayangnya, di Indonesia, pelayanan publik masih menyimpan paradoks. Di satu sisi, pemerintah telah mencanangkan reformasi birokrasi sejak era 2000-an. Berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari digitalisasi layanan, penyederhanaan struktur lembaga, hingga peluncuran Mal Pelayanan Publik (MPP) di berbagai daerah. Data dari Kementerian PANRB mencatat bahwa hingga 2024, telah berdiri lebih dari 140 MPP di berbagai kabupaten dan kota.

Namun, apakah semua itu sudah cukup?

Pertanyaan ini menjadi penting karena realitas di lapangan sering kali berbeda dari narasi resmi. Masih banyak rakyat kecil yang harus antre berjam-jam hanya untuk mendapatkan satu berkas. Masih ada aparat yang enggan bergerak sebelum amplop berpindah tangan. Tidak sedikit pelayanan yang dijalankan tanpa hati, hanya menggugurkan kewajiban. Bahkan, dalam survei Indeks Persepsi Korupsi 2023 yang dirilis oleh Transparency International, Indonesia justru turun ke skor 34 dari skala 100 dan menempati peringkat ke-115 dari 180 negara. Salah satu faktor penilaian adalah kualitas birokrasi dan integritas pelayanan publik.

Padahal, esensi dari pelayanan publik adalah pengabdian, bukan kekuasaan. Ia bukan alat untuk menunjukkan siapa yang berkuasa di balik meja, melainkan jalan penghubung antara negara dan rakyat yang harus dijalani dengan rasa hormat dan tanggung jawab. Ketika seorang pegawai negeri melayani masyarakat dengan senyum tulus, itu bukan kebaikan tambahan. Itu adalah bagian dari sumpah jabatan.

Momentum 23 Juni mestinya menjadi ruang perenungan nasional: sudahkah pelayanan publik kita benar-benar berpihak pada rakyat? Sudahkah birokrasi dibersihkan dari praktik transaksional dan mentalitas feodal? Sudahkah setiap aparatur negara sadar bahwa tugas mereka adalah melayani, bukan dilayani?

Negara-negara seperti Estonia, Korea Selatan dan Singapura telah membuktikan bahwa pelayanan publik yang cepat, efisien dan transparan bukanlah utopia. Mereka berani memangkas prosedur yang rumit, membuka akses informasi bagi rakyat, serta menindak tegas penyalahgunaan wewenang. Di sana, pelayanan publik bukan hanya fungsi pemerintahan, tapi juga bagian dari kebudayaan kerja.

Indonesia tidak kekurangan regulasi. Kita juga tidak kekurangan sumber daya manusia. Yang kita butuhkan adalah keteladanan dan kemauan untuk berubah. Bukan sekadar reformasi di atas kertas, tetapi revolusi dalam cara berpikir. Kita butuh birokrat yang tidak hanya cerdas dalam sistem, tetapi juga punya nurani dalam bekerja.

Peringatan Hari Pelayanan Publik Dunia bukan hanya perayaan seremonial yang diisi dengan seminar atau lomba inovasi antarinstansi. Ia harus menjadi momentum nasional untuk membenahi pelayanan publik dari hulu ke hilir. Pemerintah harus berani membuka ruang kritik, mendengar suara rakyat kecil, dan menindak tegas pelanggaran yang mencoreng martabat birokrasi.

Karena pada akhirnya, pelayanan publik adalah tentang kehadiran negara. Bukan soal kecepatan mengeluarkan surat, tetapi tentang bagaimana rakyat merasa dihargai. Bukan sekadar selesai dalam waktu singkat, tetapi bagaimana sebuah pelayanan dapat menyentuh sisi kemanusiaan.

Hari ini, dunia memberi kita cermin. Tinggal bagaimana kita, sebagai bangsa, memilih untuk bercermin atau terus menutup mata.

Jika pelayanan publik adalah jantung dari sebuah negara, maka biarlah ia berdetak bukan karena kepentingan, tetapi karena cinta.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *