headlinejatim.com —Setiap tanggal 22 Juni, Kota Jakarta memperingati hari jadinya. Tahun 2025 ini, ibu kota Indonesia genap berusia 498 tahun. Di tengah semaraknya festival rakyat, parade budaya Betawi, pesta kembang api, dan iring-iringan ondel-ondel, kota ini merayakan sejarah panjangnya. Namun pada hari yang sama, dunia juga memperingati Hari Hutan Hujan Tropis Sedunia. Dua peringatan yang tampaknya terpisah, namun sesungguhnya saling terkait dalam denyut kehidupan manusia.
Jakarta tidak lahir begitu saja. Pada 22 Juni 1527, Fatahillah dari Kesultanan Demak berhasil merebut pelabuhan Sunda Kelapa dari tangan Portugis. Kemenangan itu melahirkan nama Jayakarta, yang berarti “kota kemenangan”. Dari titik itulah Jakarta tumbuh, berubah, dan terus bertransformasi. Menjadi Batavia di masa kolonial Belanda. Menjadi Jakarta saat Indonesia merdeka. Kini, Jakarta berdiri sebagai pusat pemerintahan, ekonomi, dan budaya, sekaligus menjadi simbol kompleksitas perkotaan modern.
Namun di balik pencapaiannya, Jakarta juga menyimpan luka ekologis. Kota ini menjadi potret nyata betapa ruang hidup dan lingkungan terus tergerus demi laju pembangunan. Data Badan Pusat Statistik mencatat bahwa lebih dari 90 persen wilayah Jakarta kini terbangun. Ruang terbuka hijau tersisa kurang dari 10 persen, jauh di bawah standar ideal kota sebesar Jakarta yang seharusnya memiliki minimal 30 persen ruang hijau.
Kondisi ini berdampak langsung pada kualitas hidup warga. Dalam laporan IQAir tahun 2023, Jakarta tercatat sebagai salah satu kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Tingkat polusi partikulat PM2.5 secara konsisten melebihi ambang batas aman yang ditetapkan WHO. Di sisi lain, ancaman banjir, kekeringan, hingga penurunan muka tanah menjadi bencana rutin yang belum tertanggulangi secara tuntas.
Sementara itu, ribuan kilometer dari ibu kota, hutan hujan tropis di Kalimantan, Sumatera, dan Papua terus menipis. Indonesia masih menjadi salah satu negara dengan tutupan hutan hujan tropis terbesar di dunia, sekitar 91 juta hektare menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2024. Namun tekanan terhadap hutan terus meningkat. Sejak tahun 2000, Indonesia telah kehilangan lebih dari 25 juta hektare hutan. Dalam kurun 2020 hingga 2023 saja, sekitar 2,4 juta hektare hutan primer hilang akibat deforestasi, kebakaran, dan ekspansi industri ekstraktif.
Hutan hujan tropis memiliki peran vital dalam ekosistem global. Ia menyerap sekitar 30 persen emisi karbon dioksida dari aktivitas manusia. Ia menyimpan 80 persen keanekaragaman hayati daratan dunia. Ia menyediakan air, makanan, dan perlindungan bagi lebih dari satu miliar manusia yang bergantung langsung padanya, termasuk masyarakat adat yang hidup berdampingan secara harmonis dengan alam.
Peringatan Hari Hutan Hujan Tropis yang dideklarasikan pertama kali pada tahun 2017 oleh Rainforest Partnership menjadi seruan global akan pentingnya menjaga hutan tropis dunia. Negara-negara seperti Brasil, Kongo, Kolombia, dan Indonesia memiliki tanggung jawab moral dan ekologis dalam merawat paru-paru bumi ini. Dalam peringatan ini, di banyak tempat digelar aksi simbolik seperti penanaman pohon, upacara adat, puisi hutan, hingga diskusi lintas generasi.
Di Jakarta, beberapa komunitas mulai menjembatani dua momen tersebut. Di tengah gegap gempita ulang tahun kota, muncul suara-suara yang menyuarakan pentingnya keberlanjutan. Komunitas hijau urban seperti Pandawara Group dan Jakarta Berkebun menggelar aksi tanam pohon, edukasi sampah plastik, serta pelatihan daur ulang untuk warga kota. Anak-anak sekolah membaca puisi tentang hutan di taman kota. Beberapa seniman menjadikan hutan sebagai tema dalam mural dan instalasi seni di jalanan ibu kota.
Sementara itu, di pedalaman Kalimantan dan Papua, masyarakat adat menggelar ritual penghormatan bagi leluhur penjaga hutan. Mereka menanam kembali pohon endemik yang terancam punah, menyanyikan lagu-lagu leluhur, dan menolak ekspansi industri yang mengancam tanah adat mereka. Ini bukan sekadar tradisi. Ini adalah bentuk keteguhan menjaga keseimbangan hidup yang tak bisa dibeli dengan uang.
Keduanya, kota dan hutan, berdiri dalam ketegangan yang sama. Di satu sisi adalah kemajuan dan ambisi pembangunan. Di sisi lain adalah kebutuhan untuk menjaga harmoni ekologis yang menjadi dasar kehidupan manusia. Kota seperti Jakarta tidak akan bisa bertahan tanpa jasa hutan. Air yang kita minum, udara yang kita hirup, hingga kestabilan iklim semua berasal dari fungsi ekosistem yang sehat.
Maka 22 Juni bukan sekadar perayaan ulang tahun kota. Ia adalah cermin bagi kita semua. Apakah kemajuan yang kita banggakan dibangun di atas fondasi keberlanjutan, atau justru merobohkan akar kehidupan yang telah menopang kita selama ini.
Simfoni 22 Juni adalah panggilan jiwa. Kota dan hutan seharusnya tidak saling menghapus. Mereka harus saling melengkapi. Menjadi harmoni, bukan dikotomi. Menjadi jejak kemenangan sejati manusia. Bukan atas alam, melainkan bersama alam.