headlinejatim.com— Ada hari-hari yang hadir bukan sekadar sebagai penanda waktu, tetapi sebagai simpul yang mengikat berbagai makna kehidupan. Tanggal 21 Juni adalah salah satunya. Di hari ini, dunia tak hanya mencatat satu peristiwa, tetapi merayakan empat hal yang menjejak dalam keseharian manusia: musik, pertanian, ekspresi jalanan, dan gerak langit. Semuanya saling menyapa. Semuanya mengingatkan kita akan satu hal yang sama: hidup itu harus dirayakan.
Musik: Suara yang Tak Pernah Mati
Semua berawal di Prancis, tahun 1982. Menteri Kebudayaan Jack Lang bersama seorang pemikir musik bernama Maurice Fleuret menolak pandangan bahwa musik hanya milik panggung konser dan ruang elite. Mereka percaya bahwa musik adalah milik semua orang, di mana pun dan kapan pun. Maka lahirlah Fête de la Musique, Hari Musik Dunia. Sebuah hari ketika siapa saja boleh bermain musik di ruang publik. Tidak perlu tiket. Tidak perlu panggung. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk bersuara.
Hari Musik ini kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia. Di India, para pemain sitar turun ke jalan. Di Jerman, musisi jalanan meramaikan sudut-sudut kota. Di Indonesia, mulai dari komunitas akustik di Bandung, orkestra pelajar di Yogyakarta, hingga band jalanan di Surabaya, semua merayakan dengan cara mereka sendiri.
Dulu, musik hidup dari mulut ke mulut, dari panggung ke radio. Kini, musik berkelana melalui streaming, video pendek, dan unggahan media sosial. Namun satu hal tak berubah. Musik tetap menjadi bahasa yang menyatukan manusia. Musik tidak pernah mati karena ia tumbuh dari denyut jiwa.
Pertanian: Tanah yang Menghidupi
Tanggal 21 Juni juga adalah Hari Krida Pertanian. Sebuah penghargaan yang tak selalu terdengar gaungnya, tetapi justru menyentuh nadi kehidupan paling dasar: pangan. Hari ini dipilih karena menurut kalender pranata mangsa Jawa, ini adalah awal musim tanam yang penuh harapan. Presiden Soekarno meletakkan fondasi ini agar bangsa ini tak pernah lupa bahwa kekuatan sejati ada di tangan mereka yang bekerja di ladang dan sawah.
Petani Indonesia bukan sekadar pekerja tanah. Mereka adalah penjaga kehidupan. Mereka bangun saat embun belum hilang dan pulang ketika matahari mulai mengendap di ufuk. Mereka tanam, rawat, panen, lalu kirimkan hasil bumi ke meja makan kita.
Kini zaman berubah. Teknologi menyapa pertanian dengan mesin, aplikasi pemantau cuaca, hingga e-commerce hasil tani. Tapi relasi antara manusia dan tanah tidak pernah benar-benar tergantikan oleh layar. Di balik satu butir beras ada peluh yang tak terlihat. Ada doa. Ada pengorbanan yang tak sempat masuk berita.
Skateboard: Jalanan sebagai Panggung Jiwa Muda
Jalan raya tidak selalu harus penuh aturan dan rambu. Bagi para skateboarder, jalan adalah ruang ekspresi. Itulah semangat yang menghidupkan Go Skateboarding Day, lahir dari ide International Association of Skateboard Companies pada tahun 2004. Mereka ingin menyatakan bahwa skateboard bukan sekadar permainan. Ini adalah budaya. Ini adalah cara hidup.
Di Indonesia, skateboard pernah dianggap nakal. Sering dibubarkan. Sering dicibir. Tapi generasi muda tidak pernah berhenti meluncur. Mereka menjadikan trotoar sebagai panggung, menjadikan langkah sebagai tarian, menjadikan papan sebagai suara diam yang melawan batas.
Dari Bandung hingga Bali, dari lapangan kecil hingga arena bertaraf internasional, skateboard kini mendapat tempat. Bahkan Bunga Nyimas dan Sanggoe Darma Tanjung telah mengharumkan nama bangsa di tingkat Asia. Mereka tidak tumbuh di akademi formal, tetapi di jalanan yang penuh luka dan semangat.
Di era digital, gerakan mereka direkam. Dibagikan. Diikuti. Tapi semua itu tetap lahir dari satu hal yang sama: keberanian untuk berdiri, jatuh, dan mencoba lagi.
Matahari: Cahaya yang Tak Pernah Ingkar Janji
Ada keajaiban yang juga terjadi pada 21 Juni. Di belahan bumi utara, hari ini adalah saat matahari bersinar paling lama sepanjang tahun. Ini adalah Summer Solstice, titik balik musim panas. Cahaya terasa lebih hangat, waktu terasa lebih panjang, dan langit seperti memberi ruang lebih besar untuk hidup.
Di tempat-tempat seperti Norwegia, Alaska, dan Swedia, matahari hampir tak tenggelam. Orang-orang menyambutnya dengan tarian, api unggun, dan perayaan. Mereka percaya, matahari yang tak padam adalah lambang harapan yang tak pernah padam pula.
Indonesia memang tidak merasakan hari terpanjang itu secara fisik. Tapi kita bisa memaknainya secara batin. Bahwa hidup selalu punya waktu untuk tumbuh. Bahwa terang selalu ada bagi siapa pun yang mau berjalan ke arahnya.
Empat Simfoni, Satu Kehidupan
Musik, pertanian, skateboard, dan matahari. Empat hal yang terlihat berbeda, tetapi sesungguhnya saling melengkapi. Semuanya menyentuh kehidupan manusia dengan caranya sendiri. Semuanya hadir di tanggal 21 Juni, seakan semesta memberi kita satu hari khusus untuk mengingat bahwa hidup ini luas. Bahwa dunia ini bukan hanya soal pekerjaan dan layar, tetapi juga tentang suara, tanah, gerakan, dan cahaya.
Di masa kini yang serba cepat dan digital, kita sering lupa mendengar. Lupa merasa. Lupa bergerak tanpa tujuan lain selain bersenang-senang. Peringatan 21 Juni bukanlah nostalgia, melainkan ajakan untuk kembali merasakan: harmoni dari musik, kesetiaan dari petani, keberanian dari papan skateboard, dan harapan dari langit yang cerah lebih lama.
Sebab mungkin, yang kita butuhkan hari ini bukan hanya data dan sinyal, tapi juga napas yang lebih panjang dan jiwa yang lebih terbuka.