headlinejatim.com — Di sebuah rumah tua di Banjarmasin, Arumi menemukan sepucuk surat usang milik neneknya yang telah meninggal bertahun-tahun lalu. Surat itu ditulis tahun 1967, di tengah kemelut masa pergolakan. Di dalamnya tertulis bagaimana sang nenek mengungsi dengan tiga anak kecil, membawa satu kompor dan bungkusan kain berisi surat nikah dan ijazah sekolah dasar. Tak ada kisah itu dalam buku sejarah. Tak ada catatan resmi yang pernah mencatat perjalanannya. Tapi kisah itu nyata dan hampir saja menghilang.
Hari itu, Arumi menyadari: kisah hidup, betapapun sunyinya, adalah warisan yang tak tergantikan.
Apa Itu Hari Internasional Cerita Hidup?
Life Story Day, atau Hari Internasional Cerita Hidup, adalah peringatan tidak resmi yang diperingati setiap tanggal 20 Juni. Hari ini didorong oleh komunitas penulis, dokumenteris, pengarsip keluarga, sejarawan lokal, hingga pendidik dari berbagai negara, sebagai momen tahunan untuk merefleksikan, mendengarkan, menuliskan, dan menyimpan kisah hidup manusia.
Berbeda dengan hari besar lain yang ditetapkan oleh badan internasional seperti PBB, Life Story Day lahir dari gerakan akar rumput. Meskipun tidak bersifat formal, hari ini diakui secara luas oleh berbagai komunitas di:
- Amerika Serikat: Melalui gerakan “StoryCorps”, yang sejak 2003 telah merekam lebih dari 600.000 wawancara kehidupan sehari-hari warga AS. Menjadikannya arsip suara terbesar di dunia.
- Inggris: Di mana museum lokal dan komunitas sejarah seperti The Memory Project rutin mengarsipkan kisah warga tua untuk generasi mendatang.
- Australia dan Selandia Baru: Menyelenggarakan “Life Review Week” di bulan Juni, bertepatan dengan musim dingin, momen ketika keluarga cenderung berkumpul di rumah dan berbagi kisah.
- Kanada: Menggunakan hari ini sebagai bagian dari program literasi antar generasi, terutama di komunitas imigran dan suku asli.
- Jepang: Dalam budaya “oral biography” yang dikenal sebagai kataru, cerita hidup sering diabadikan sebagai bentuk penghormatan spiritual kepada leluhur.
Mengapa Dipilih 20 Juni?
Tanggal 20 Juni dipilih karena memiliki makna simbolik: hari ini adalah pertengahan tahun, waktu yang tepat untuk melihat ke belakang dan merefleksikan perjalanan hidup selama setengah tahun terakhir, sembari menatap ke depan dengan cerita yang lebih utuh.
Selain itu, tanggal ini berdekatan dengan solstis musim panas di belahan bumi utara (sekitar 21 Juni) sebagai simbol cahaya, kehangatan, dan pertumbuhan. Dalam filosofi banyak budaya, ini adalah momen yang tepat untuk menengok “akar” kehidupan. Dari mana kita berasal dan apa yang membentuk kita.
Menariknya, 20 Juni juga bertepatan dengan World Refugee Day (Hari Pengungsi Sedunia) yang ditetapkan oleh PBB. Keduanya, meski berbeda latar, memiliki benang merah: tentang perjalanan manusia, kehilangan, ketahanan, dan harapan.
Mengapa Kisah Hidup Layak Dirayakan?
Sebagian orang mungkin merasa hidup mereka biasa saja. Namun sejatinya, tidak ada kehidupan yang tidak bermakna. Seorang petani yang bertahan menanam padi selama 40 tahun di tengah cuaca yang berubah; seorang ibu rumah tangga yang membesarkan tiga anak sambil menjahit malam hari; atau seorang mantan sopir angkot yang pernah mengevakuasi korban banjir. Mereka semua menyimpan kisah yang pantas untuk dikenang.
Penelitian dari Emory University menunjukkan bahwa anak-anak yang mengetahui kisah hidup keluarganya memiliki kepercayaan diri lebih tinggi dan resiliensi emosional yang kuat. Karena cerita bukan hanya hiburan; cerita adalah jati diri, pelajaran, dan penghubung antar generasi.
Bagaimana Indonesia Bisa Merayakannya?
Indonesia adalah negeri yang kaya akan tradisi lisan dan narasi turun-temurun. Dari hikayat Melayu, wayang Jawa, dongeng Minang, hingga tutur Papua, seluruh pelosok nusantara menyimpan cerita yang membentuk budaya kita.
Namun di era digital ini, tradisi bercerita terancam digantikan oleh konten singkat dan viral. Banyak anak muda yang tahu nama idola luar negeri, tetapi tak tahu perjuangan kakek-nenek mereka sendiri.
Hari Cerita Hidup bisa menjadi pengingat dan momentum bagi kita untuk:
- Menulis memoar keluarga.
- Merekam wawancara dengan orang tua atau tetua desa.
- Mengarsipkan dokumen dan foto lama disertai narasi kisah di baliknya.
- Membuat buku keluarga, meski hanya untuk kalangan internal.
Hal ini bisa dilakukan secara mandiri di rumah, melalui komunitas lokal, atau program literasi dan sejarah keluarga di sekolah.
Menutup dengan Afirmasi: Setiap Hidup Adalah Kisah
Arumi akhirnya memindai surat-surat neneknya dan membacakannya pada keluarganya saat malam keluarga. Ia menambahkan narasi sendiri, mengenai bagaimana surat-surat itu mengubah cara pandangnya terhadap ibunya, hidup, dan sejarah keluarganya sendiri.
Dan dari situlah ia mulai menulis. Bukan karena ingin terkenal. Tapi karena ia tahu, jika tidak ia tuliskan, kisah itu akan hilang.
Hari ini, 20 Juni, adalah undangan bagi kita semua untuk menyelamatkan cerita-cerita yang diam, sederhana, dan tak terdengar, sebelum semuanya terlambat.
Karena sejatinya, yang akan kita wariskan bukan hanya harta, tetapi cerita.
Dan hidup yang dikenang, adalah hidup yang diceritakan.