Krisis Ekologis Bukan Isu Sampingan: Inilah Saatnya KOPRI Hadir dan Bergerak
Oleh: Kholisatul Hasanah
Calon Ketua KOPRI PKC PMII Jawa Timur
headlinejatim.com— Sebagai calon Ketua KOPRI PKC PMII Jawa Timur, saya meyakini sepenuhnya bahwa arah gerakan kita hari ini harus berpijak pada realitas nyata yang dihadapi masyarakat. Salah satu persoalan yang paling sering terabaikan adalah isu lingkungan.
Ironisnya, dalam panggung debat calon Ketua PKC dan KOPRI Jawa Timur, isu lingkungan justru tidak dibahas sama sekali. Padahal krisis ekologis yang melilit Jawa Timur bukan sekadar bencana alam, melainkan dampak sistemik dari relasi kuasa yang timpang atas ruang, sumber daya, dan alam.
Dalam konteks ini, dua dari misi yang saya bawa, khususnya poin keempat dan kelima, menjadi sangat relevan untuk diwujudkan dalam gerakan nyata yang berpihak pada rakyat dan lingkungan.
Menempatkan KOPRI sebagai Kekuatan Solutif dan Advokatif
Misi keempat adalah menguatkan kembali peran KOPRI sebagai mitra kritis yang solutif dan kontributif. KOPRI tidak cukup hanya menjadi corong suara. Ia harus hadir sebagai kekuatan analisis, penggerak kebijakan, dan penghubung antara suara rakyat dengan pengambil keputusan.
Sementara misi kelima berbicara tentang pentingnya konsolidasi berbasis zonasi dan manajemen kader. Kualitas kader harus merata di setiap wilayah dengan pendekatan yang memahami konteks lokal serta menjadikannya kekuatan perubahan.
Ketika WALHI Jawa Timur merilis tujuh wilayah krisis ekologis, saya melihatnya bukan hanya sebagai data, tetapi medan strategis yang menuntut keterlibatan langsung. Kerusakan lingkungan tidak hanya berdampak pada laki-laki, tetapi juga menekan ruang hidup perempuan. Karena itu, KOPRI tidak boleh hanya menjadi penonton, melainkan bagian dari solusi.
• Dari Surabaya Raya hingga Tapal Kuda: Peta Luka, Peta Perjuangan
Surabaya Raya: Kemajuan yang Mengabaikan Alam
Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo kini menjadi simbol urbanisasi. Namun pertumbuhan ini menyingkirkan ruang terbuka hijau, mengalihfungsikan waduk, dan mengorbankan ekosistem demi properti mewah.
Kasus Waduk Sepat adalah contoh nyata bagaimana ruang hidup warga dikorbankan atas nama investasi. Warga yang mencoba mempertahankannya justru dikriminalisasi. Pemerintah harus segera melakukan moratorium alih fungsi lahan ekologis, mengaudit proyek-proyek tersebut, dan membuka prosesnya secara transparan kepada publik.
• Porong, Sidoarjo: Luka Lapindo yang Terlupakan
Sudah hampir dua dekade sejak lumpur panas Lapindo meluluhlantakkan Porong. Namun pemulihan belum benar-benar terjadi. Ribuan warga kehilangan rumah dan tanah, sementara perusahaan penyebabnya tidak menunjukkan tanggung jawab.
KOPRI harus mendorong penghentian eksplorasi migas di wilayah padat penduduk serta mengadvokasi lahirnya undang-undang yang mengatur tanggung jawab korporasi terhadap bencana ekologis.
• Jombang: Migas Tanpa Kajian Lingkungan yang Layak
Eksplorasi migas dilakukan dengan hanya menggunakan UKL-UPL tanpa AMDAL. Padahal wilayah ini padat penduduk dan rawan bencana. Peraturan seperti Permen LH No. 05/2012 perlu dikaji ulang karena memperlemah perlindungan terhadap warga.
KOPRI harus bersuara lantang bahwa pembangunan tanpa kajian lingkungan yang serius adalah bentuk kejahatan sistemik.
• Lakardowo, Mojokerto: Hidup di Tengah Limbah
Warga Lakardowo hidup berdampingan dengan limbah B3 dari PT PRIA. Anak-anak mengalami gangguan kulit, panen rusak, dan air berubah warna. Namun di tengah krisis, muncul perempuan-perempuan tangguh yang menyebut diri sebagai Green Woman.
Gerakan ini harus menjadi napas baru bagi KOPRI. Kita tidak cukup menyuarakan luka. Kita harus membangun kekuatan perubahan yang konkret, mendorong audit lingkungan, menghentikan operasional industri pencemar, serta menuntut kehadiran negara dalam pemenuhan hak dasar warga.
• Desa Adat Sendi: Ketika Kearifan Lokal Tak Diakui
Desa Sendi telah menjaga hutan, melestarikan budaya, dan merawat mata air. Namun saat meminta pengakuan sebagai masyarakat hukum adat, negara menolaknya dengan alasan administratif.
Ini pengingkaran terhadap kenyataan sosial yang hidup. KOPRI harus mendorong pengesahan Perda pengakuan masyarakat hukum adat, serta memastikan bahwa program kehutanan sosial mencakup wilayah adat seperti Desa Sendi.
• Malang Raya dan Pasuruan: Hulu yang Kering, Hilir yang Menderita
Mata air di wilayah ini mengering bukan karena perubahan iklim, tetapi akibat deforestasi dan industrialisasi pariwisata. Perusahaan air minum ikut menguras sumber air, sementara warga di hilir sering dilanda kekeringan.
Moratorium eksploitasi air tanah harus segera diberlakukan. Rehabilitasi daerah tangkapan air dan penertiban bangunan liar di zona konservasi adalah langkah mendesak.
• Tapal Kuda: Petani Dikriminalisasi, Hutan Dikuasai Korporasi
Di Jember, Situbondo, hingga Lumajang, petani yang sudah lama mengelola hutan justru dikriminalisasi. Sementara perusahaan bebas menebang dan menambang. Ini bentuk ketidakadilan yang dilegalkan.
Pemerintah harus mengaudit ulang seluruh izin kehutanan dan pertambangan. Hak kelola hutan harus dikembalikan ke masyarakat dengan jaminan hukum dan partisipasi penuh. KOPRI harus menjadi pendamping, pendengar, dan penggerak perubahan.
• Penutup: KOPRI dan Agenda Ekologis Jawa Timur
Krisis ekologis di Jawa Timur bukan sekadar deretan peristiwa, melainkan gambaran nyata dari ketimpangan struktural dan ketidakpedulian negara. Namun di balik semua luka itu, selalu ada potensi untuk bangkit dan berubah.
Saya percaya bahwa KOPRI memiliki peran strategis untuk menjadi bagian dari perubahan tersebut. Kita tidak bisa diam. Kita harus hadir, menyatu dengan rakyat, menjadi suara yang menggugah dan gerakan yang menyala. Karena menjaga bumi, adalah menjaga hidup itu sendiri.