SURABAYA, headlinejatim.com— Di balik kelancaran pelaksanaan ibadah haji, terselip kisah perjuangan para petugas haji yang tak banyak diketahui publik. Salah satunya datang dari Ahmad Allauddin, Ketua Kloter SUB 16 Embarkasi Surabaya, yang dengan penuh dedikasi melayani para jemaah selama berada di Tanah Suci.
“Ini tidak mudah, ini perjuangan,” ucap Allauddin dengan mata berkaca-kaca saat menyambut kepulangan jemaah di Asrama Haji Debarkasi Surabaya, Senin (16/6). Baginya, menjadi petugas haji bukan hanya soal menjalankan tugas administratif, tapi tentang ketulusan, ketangguhan, dan pengorbanan.
Tahun ini, jemaah haji Kloter SUB 16 tidak tinggal di satu lokasi terpusat, melainkan tersebar di 19 hotel yang berada di 6 sektor dan 4 wilayah. Kondisi ini menuntut mobilitas tinggi dari para petugas kloter.
“Saya bersama pembimbing ibadah dan dokter kloter setiap hari harus menyambangi hotel-hotel. Dari satu wilayah ke wilayah lain, kami berjalan kaki, naik turun terminal hanya demi memastikan jemaah tetap mendapat pendampingan yang layak,” ujarnya.
Salah satu kendala krusial yang dihadapi adalah distribusi kartu Nusuk, yang dilakukan tanpa koordinasi yang baik. Allauddin menyebut, pembagian dilakukan oleh pihak syarikah saat malam hari di lobi hotel, tanpa pemberitahuan kepada petugas kloter maupun sektor.
“Karena jemaah tersebar, banyak yang kesulitan menerima. Bahkan ada yang belum pegang kartu fisik hingga jelang Armuzna. Untungnya, mereka masih bisa berangkat karena sudah mengunduh aplikasi Nusuk,” jelas pria yang juga menjabat sebagai Ketua Tim Humas, Protokol, dan Sistem Informasi Kanwil Kemenag Jawa Timur ini.
Minimnya koordinasi membuat sektor akhirnya melibatkan ketua kloter untuk mengatur ulang distribusi yang seharusnya lebih tertib dan terpusat.
Armuzna: Tantangan Pengelompokan dan Mobilisasi Jemaah
Fase puncak ibadah haji di Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina) menjadi tantangan tersendiri. Pengelompokan jemaah yang sebelumnya berdasarkan kloter, bergeser menjadi berdasarkan khalifah, yang artinya satu kelompok bisa terdiri dari berbagai kloter dan hotel.
“Bayangkan, kami harus mengumpulkan jemaah dari lokasi yang belum pernah kami datangi sebelumnya, belum lagi mereka saling tidak kenal,” ungkap Allauddin.
Terkait transportasi, ia menjelaskan bahwa bus dari Muzdalifah ke Mina memang disediakan. Namun karena kemacetan, banyak jemaah justru memilih berjalan kaki.
“Alhamdulillah, meski melelahkan, seluruh jemaah kami sampai di Mina sebelum pukul 10 pagi. Itu jadi capaian tersendiri,” tambahnya.
Menyikapi isu yang sempat muncul tentang petugas haji yang disinyalir lebih sibuk beribadah pribadi ketimbang melayani, Allauddin memberi klarifikasi tegas.
“Saya hanya sempat umrah sunah dua kali. Padahal kalau saya mau, bisa saja lebih dari itu. Tapi saya memilih menggunakan waktu untuk memastikan jemaah kami aman dan nyaman,” katanya mantap.
Bagi Allauddin, suka dan duka dalam menjalankan tugas justru menjadi bagian paling mengesankan. Ia mengaku terharu saat berhasil mengunjungi hotel-hotel yang tak memiliki petugas kloter, dan melihat bagaimana jemaah tetap merasa didampingi meski bukan berasal dari kloter yang sama.
“Dukanya, kami harus terpisah dari jemaah di banyak tempat. Tapi sukanya, saat melihat mereka merasa aman, dilayani, dan dilindungi. Itu kebahagiaan yang tak bisa diukur,” tuturnya.
Kini, Ahmad Allauddin dan seluruh jemaah Kloter SUB 16 telah tiba di tanah air dalam keadaan sehat dan selamat. Kisahnya menjadi potret nyata dedikasi, profesionalisme, dan integritas petugas haji Indonesia yang bekerja tanpa pamrih demi mengawal ibadah suci para tamu Allah.