headlinejatim.com —Tak banyak tanggal yang menyatukan samudra, sastra, dan suara anak-anak dalam satu tarikan napas sejarah. Namun, 16 Juni menjadi semacam jembatan kultural yang menghubungkan perlawanan, perenungan, dan pelestarian, dari jalan-jalan Dublin yang penuh kata-kata, hingga laut Indonesia yang menyimpan harapan.
Bloomsday – Ketika Sastra Menjadi Ziarah
Pada 16 Juni 1904, seorang pria bernama James Joyce menjelajahi Dublin, mengenakan topi khas dan mencatat kejadian hari itu dengan tajam dalam pikirannya. Tanggal itu kemudian diabadikan sebagai latar penuh dari novel monumental Ulysses, karya yang diakui sebagai salah satu tonggak utama sastra modernis dunia.
Sejak 1954, masyarakat Irlandia dan penggemar sastra di seluruh dunia memperingatinya sebagai Bloomsday, diambil dari nama tokoh utama novel tersebut, Leopold Bloom. Mereka menyusuri rute yang sama seperti dalam novel, membaca kutipan langsung, dan mengenakan busana abad ke-20 awal. Perayaan ini bukan sekadar nostalgia, tapi pengakuan terhadap kekuatan narasi sebagai bentuk perlawanan terhadap pelupaan.
Ulysses bukan novel yang mudah dicerna. Tapi justru karena kompleksitas itulah, ia menjadi simbol perlawanan terhadap pembodohan massal dan komersialisasi budaya. Setiap 16 Juni, dunia seolah diajak kembali mencintai bahasa, menggali makna, dan memuliakan imajinasi sebagai alat pembebasan.
Hari Anak Afrika: Mengabadikan Suara Kecil yang Tertindas
Namun 16 Juni tak hanya berbicara tentang sastra. Pada tahun 1976 di Soweto, Afrika Selatan, ribuan anak turun ke jalan. Mereka menolak kebijakan pendidikan apartheid yang memaksa penggunaan bahasa Afrikaans, bahasa yang dipandang sebagai simbol penjajahan budaya kulit putih. Aksi damai itu berujung tragis. Aparat menembaki para siswa. Lebih dari 500 anak tewas. Salah satunya adalah Hector Pieterson, bocah 13 tahun, yang fotonya menjadi simbol tragedi tersebut.
Sebagai bentuk penghormatan, Uni Afrika menetapkan 16 Juni sebagai Hari Anak Afrika. Tujuannya bukan hanya mengenang, tapi juga menuntut hak pendidikan, perlindungan, dan partisipasi anak-anak di seluruh Afrika.
Data dari UNICEF (2024) menunjukkan bahwa lebih dari 90 juta anak di Sub-Sahara Afrika masih tidak bersekolah secara formal. Hari Anak Afrika menjadi pengingat bahwa perjuangan pendidikan belum usai, dan bahwa suara anak-anak harus didengar, bukan dibungkam.
Menjaga Denyut Biru Nusantara
Di belahan lain dunia, Indonesia mengenang 16 Juni dengan cara yang tak kalah mendalam: sebagai Hari Laut dan Samudra Nasional. Negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau ini memiliki garis pantai sepanjang 99.093 km, menjadikannya salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia.
Sayangnya, potensi itu sering tak sejalan dengan perlindungan. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2023) mencatat bahwa Indonesia mengalami kerusakan terumbu karang hingga 35%, dan pencemaran laut oleh sampah plastik mencapai lebih dari 600 ribu ton per tahun.
Hari Laut dan Samudra Nasional hadir bukan sekadar seremonial. Ia adalah panggilan. Di sejumlah daerah pesisir, seperti di Pulau Seram, Maluku, atau di Banyuwangi, Jawa Timur, masyarakat menggelar selamatan laut. Tradisi adat ini merupakan bentuk spiritual dan ekologis untuk menghormati laut sebagai ibu kehidupan.
Lintasan Tanggal, Lintasan Makna
Apa benang merah antara Dublin, Soweto, dan Samudra Hindia?
Semua cerita yang berpangkal pada 16 Juni itu berakar pada satu hal: perlawanan terhadap pelupaan, penindasan, dan perusakan. Sastra, anak-anak, dan laut adalah simbol kehidupan yang terus digempur zaman, namun tak pernah lelah menyuarakan keberadaan mereka.
Pada hari ini, kita diingatkan bahwa:
Kata-kata bisa menyelamatkan sejarah (Bloomsday),
Anak-anak adalah agen perubahan yang harus didengar (Hari Anak Afrika),
Dan laut bukan ruang kosong, melainkan nadi yang menghidupi bangsa (Hari Laut dan Samudra Nasional).
Menyatu dalam Tiga Ombak
Tiga peristiwa. Tiga latar berbeda. Tapi semuanya bergerak menuju satu arus: kesadaran manusia akan pentingnya merawat martabat. Baik melalui kata, nyawa, maupun alam. Tanggal 16 Juni bukan hanya angka di kalender. Ia adalah simpul waktu yang menyimpan gema perjuangan dari berbagai benua.
Dan jika kita mendengarkan baik-baik, mungkin suara sastra, jeritan anak, dan gemuruh laut itu masih berbisik di telinga kita hari ini.