headlinejatim.com —Setiap tanggal 13 Juni, dunia memperingati Hari Kesadaran Albinisme Internasional. Bukan sekadar perayaan, hari ini menjadi panggilan nurani untuk menengok kenyataan pahit yang masih dialami oleh sebagian manusia yang lahir dengan kondisi langka: albinisme.
Di balik kulit pucat dan rambut keemasan yang khas, ada kehidupan yang kerap dipenuhi ketakutan, keterbatasan, dan luka. Sebab di banyak tempat, albinisme bukan dipandang sebagai perbedaan biologis, melainkan disalahartikan sebagai kutukan, bahkan sumber kekuatan mistis.
Sebuah Hari, Sebuah Harapan
Hari Kesadaran Albinisme Internasional pertama kali ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2015. Ia lahir dari kebutuhan yang mendesak: untuk melawan diskriminasi sistematis dan kekerasan terhadap orang dengan albinisme (ODA).
Tahun ini menandai satu dekade sejak hari itu diresmikan. Tema globalnya, “10 Years of IAAD: A Decade of Collective Progress”, mengajak dunia mengevaluasi sejauh mana langkah kemanusiaan sudah dijalankan, dan seberapa jauh lagi perjuangan harus diteruskan.
Albinisme: Kondisi Genetik yang Masih Dipandang Mistis
Albinisme adalah kelainan genetik langka yang menyebabkan tubuh tidak memproduksi cukup melanin, pigmen pemberi warna pada kulit, rambut, dan mata. Secara medis, penyandang albinisme berisiko tinggi terhadap gangguan penglihatan dan kanker kulit. Namun tantangan terbesar mereka seringkali bukan datang dari tubuh sendiri, melainkan dari masyarakat sekitarnya.
Di berbagai negara Afrika Sub-Sahara, penyandang albinisme kerap menjadi korban persekusi brutal. Masyarakat yang masih terikat pada takhayul memandang bagian tubuh mereka sebagai bahan baku jimat keberuntungan, kesuksesan, bahkan kekuasaan.
Tanzania dan Malawi: Antara Takut dan Bertahan
Tanzania dan Malawi adalah dua negara dengan jumlah penyandang albinisme tertinggi di dunia. Di Tanzania, diperkirakan satu dari setiap 1.400 kelahiran mengalami albinisme. Angka yang jauh lebih tinggi dari rata-rata global, yakni sekitar 1 dari 18.000 hingga 20.000.
Namun angka lain jauh lebih mencekam. Menurut laporan Amnesty International dan Human Rights Watch, sejak 2010 telah terjadi lebih dari 150 serangan brutal terhadap penyandang albinisme di Tanzania. Kasus mutilasi, penculikan, bahkan pembunuhan menjadi bayang-bayang yang menghantui kehidupan mereka setiap hari.
Tak sedikit anak-anak yang hidup dalam perlindungan pemerintah, dipisahkan dari keluarganya, demi alasan keamanan. Mereka tumbuh besar di rumah-rumah perlindungan, jauh dari kampung halaman, hanya karena warna kulit mereka dianggap “lain”.
Dari Rasa Takut ke Aksi Damai
Namun hari ini, seperti tiap 13 Juni lainnya, jalan-jalan di kota-kota seperti Dar es Salaam, Lilongwe, hingga Blantyre tak lagi hanya menyimpan ketakutan. Pawai damai digelar. Poster bertuliskan “We are not ghosts” diangkat tinggi-tinggi. Pertunjukan musik dan tari tradisional mengiringi langkah kaki para penyintas dan aktivis.
Inilah hari di mana suara mereka terdengar. Di mana dunia melihat, bahwa penyandang albinisme bukan kutukan, bukan legenda gelap yang hidup di balik mitos, tapi manusia seutuhnya yang ingin tumbuh, bermimpi, dan dihargai.
Organisasi seperti Under the Same Sun dan Standing Voice telah berperan besar dalam mengedukasi masyarakat dan memberikan akses kesehatan, perlindungan hukum, serta ruang aman bagi penyandang albinisme.
Menggema ke Seluruh Dunia
Peringatan ini tak hanya menggema di Afrika. Di berbagai kota di Eropa, Amerika, dan Asia, seminar, pameran foto, serta diskusi publik digelar untuk mengangkat kisah-kisah para penyintas. Gedung PBB di New York dan kantor WHO di Jenewa menjadi tempat simbolik untuk menyuarakan hak yang sama bagi setiap manusia, tak peduli pigmen kulitnya.
Indonesia, meski tak mencatat kekerasan fisik seperti di Afrika, masih menyisakan tantangan tersendiri. Minimnya pemahaman masyarakat menyebabkan penyandang albinisme sering kali menjadi sasaran perundungan, pengucilan, hingga hambatan sosial dalam dunia pendidikan dan pekerjaan. Padahal mereka punya potensi yang sama untuk berkembang.
Warna yang Membawa Terang
Hari ini adalah pengingat, bahwa perbedaan bukan alasan untuk menjauhkan, apalagi menyakiti. Bahwa warna kulit, tak seharusnya menjadi takdir penderitaan. Dan bahwa keberanian para penyandang albinisme, untuk berdiri di tengah stigma dan tetap berjalan maju, adalah bentuk keteguhan jiwa yang patut kita rayakan bersama.
Sebab pada akhirnya, Hari Kesadaran Albinisme Internasional bukan hanya milik mereka yang lahir dengan kondisi berbeda. Ini adalah milik kita semua yang percaya bahwa kemanusiaan lebih besar dari prasangka, dan bahwa terang tak selalu datang dari kulit yang gelap, tetapi dari hati yang mau melihat.