“Jika hutan dilukai, laut pun menangis. Jika laut mati, kita pun ikut kehilangan hidup.”
headlinejatim.com —Pada suatu titik di kehidupan ini, manusia harus berhenti sejenak untuk mendengarkan suara-suara yang tak lagi terdengar. Salah satunya datang dari laut. Bukan suara ombak atau camar, melainkan suara keluh yang keluar perlahan. Seperti napas panjang dari sesuatu yang lelah, terluka, dan kian kehilangan daya.
Setiap tanggal 8 Juni, dunia memperingati Hari Laut Sedunia. Sebuah hari yang awalnya mungkin hanya menjadi agenda kampanye lingkungan, namun kini menjelma menjadi peringatan keras akan sesuatu yang amat mendasar. Bahwa laut sedang tidak baik-baik saja. Dan yang membuatnya begitu terluka bukan badai atau gelombang, tapi kita, manusia yang mengambil tanpa menjaga.
Menjaga Apa yang Menjaga Kita
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengangkat tema Hari Laut Sedunia 2025 dengan kalimat yang sederhana, tetapi dalam: “Wonder – Sustaining What Sustains Us”. Sebuah ajakan untuk kembali melihat laut sebagai keajaiban, sekaligus mengingatkan bahwa yang menopang kehidupan kita, harus kita jaga, atau segalanya akan runtuh perlahan.
Laut telah menjaga kita jauh sebelum kita menyadarinya. Ia memberi oksigen, lebih dari separuh jumlah yang kita hirup. Ia menjadi pengatur suhu bumi, penyerap karbon, sumber pangan, penghubung budaya, dan pelindung dari bencana. Tapi hari ini, laut bukan lagi ruang yang damai. Ia dipenuhi sampah, panas, racun, dan kerusakan yang mengalir dari darat. Dan Indonesia, negeri kepulauan terbesar di dunia, berada di pusaran krisis itu.
Indonesia: Negeri Bahari di Ambang Bahaya
Negara ini dibentuk oleh laut. Dari Sabang hingga Merauke, laut bukan sekadar batas wilayah, tapi jantung kehidupan. Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau, 2,9 juta kilometer persegi lautan, dan lebih dari 600 spesies karang yang menjadikan kita pusat keanekaragaman hayati laut dunia. Kita menyimpan 76 persen spesies karang global. Kita adalah poros dunia bahari.
Namun dalam dua dekade terakhir, lautan Indonesia tak lagi menjadi sumber kekuatan. Di banyak wilayah pesisir, air menjadi keruh, tangkapan nelayan menurun, dan ekosistem rusak tak kembali. Sebagian besar masalah itu ternyata tidak datang dari laut itu sendiri, tetapi dari daratan. Khususnya dari hutan yang ditebang, tanah yang dieksploitasi, dan sungai yang tercemar.
Hutan yang Gundul, Laut yang Mati
Laut dan hutan saling terhubung dalam sistem kehidupan yang halus namun kuat. Jika salah satu rusak, yang lain ikut terdampak. Ketika hutan ditebang tanpa kendali, akar-akar yang seharusnya menahan tanah tak lagi ada. Air hujan membawa serta lumpur, logam berat, dan racun dari pestisida, masuk ke sungai lalu berakhir di laut. Inilah proses yang disebut sedimentasi, dan ia menjadi pembunuh senyap bagi terumbu karang dan biota laut lainnya.
Data menunjukkan bahwa sejak 1950, Indonesia telah kehilangan lebih dari 74 juta hektare hutan. Pada tahun 2023, laju deforestasi meningkat sebesar 27 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Di Papua, pembukaan lahan untuk pertambangan nikel dan proyek food estate menyebabkan hilangnya lebih dari dua juta hektare hutan primer. Dampaknya langsung terasa di wilayah pesisir selatan Papua dan Teluk Cenderawasih, di mana ekosistem laut mulai terganggu oleh sedimentasi dan perubahan kualitas air.
Di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan yang dulu menjadi salah satu kawasan terumbu karang terkaya di Indonesia, 76 persen terumbu karang mengalami kerusakan sejak 1990 akibat sedimentasi dari daratan dan aktivitas penambangan di hulu DAS Tallo. Sebuah tragedi ekologis yang nyaris tak terdengar.
Plastik, Panas, dan Kehilangan yang Nyata
Sedimentasi bukan satu-satunya ancaman. Laut Indonesia juga dicekik oleh plastik dan memanas oleh krisis iklim. Setiap tahun, lebih dari 620 ribu ton sampah plastik masuk ke laut Indonesia. Mikroplastik ditemukan di tubuh ikan, garam dapur, hingga darah manusia. Kita tak lagi sekadar mencemari laut; kita telah mencemari diri kita sendiri.
Sementara itu, kenaikan suhu laut menyebabkan pemutihan terumbu karang secara massal. Tahun 2023 hingga 2025 menjadi periode pemutihan global paling luas sepanjang sejarah. Di Indonesia, lebih dari 84 persen terumbu karang di wilayah konservasi alami pemutihan. Tanpa intervensi besar-besaran, kita bisa kehilangan 80 persen ekosistem karang sebelum tahun 2045.
Bersamaan dengan itu, nelayan kecil yang hidupnya bergantung pada laut mulai kehilangan harapan. Di Pantai Selatan Jawa, hasil tangkapan turun 20 hingga 30 persen sejak 2019. Di Maluku dan Papua, banyak nelayan yang kini harus melaut lebih jauh dan lebih lama demi hasil yang tak seberapa.
Laut bukan hanya soal ikan atau karang. Ia adalah ruang hidup, warisan budaya, dan penjaga keseimbangan iklim. Jika laut mati, kehidupan kita kehilangan fondasinya.
Harapan Masih Ada, Tapi Waktunya Singkat
Meskipun semua ini tampak kelam, laut bukan ruang yang mudah menyerah. Ia tetap memulihkan dirinya jika kita memberinya waktu dan ruang. Kawasan konservasi laut, restorasi karang, pengelolaan hutan berkelanjutan, dan rehabilitasi daerah aliran sungai terbukti mampu mengembalikan sebagian dari kerusakan yang ada.
Upaya perbaikan sudah mulai berjalan, tetapi belum cukup kuat. Diperlukan keberanian politik, dukungan masyarakat, dan perubahan pola konsumsi. Diperlukan keberanian untuk menghentikan ekspansi industri ekstraktif yang merusak. Diperlukan komitmen untuk tidak lagi memperlakukan laut sebagai tempat buangan, tetapi sebagai bagian dari tubuh kita sendiri.
Karena pada akhirnya, menjaga laut bukanlah pilihan. Ia adalah kewajiban moral, ekologis, dan eksistensial.
Dengarkan Suara Laut, Sebelum Terlambat
Laut tidak pernah meminta balas. Ia memberi tanpa hitung-hitungan. Ia menyembuhkan tanpa mengeluh. Tapi seperti semua yang hidup, laut juga punya batas. Dan hari ini, batas itu sedang diuji.
Hari Laut Sedunia 2025 adalah panggilan bagi siapa pun yang masih percaya bahwa kehidupan ini layak dipertahankan. Bukan dengan retorika, tetapi dengan tindakan. Bukan dengan nostalgia akan kejayaan bahari, tetapi dengan keberanian membela apa yang masih bisa diselamatkan.
Jangan tunggu laut benar-benar mati untuk menyadari bahwa kita telah kehilangan lebih dari yang kita duga. Karena jika laut tak lagi mampu menjaga kita, maka semua yang hidup di darat akan ikut karam. Pelan tapi pasti.
Kini saatnya menjaga yang menjaga kita. Bukan esok, bukan nanti. Tapi hari ini.