headlinejatim.com —Tanggal 4 Juni setiap tahun diperingati sebagai Hari Anak Korban Kekerasan dalam Konflik Bersenjata (International Day of Innocent Children Victims of Aggression). Ini bukan sekadar satu dari banyak hari peringatan yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), melainkan momen penting untuk menghadirkan wajah-wajah kecil yang kerap terlupakan dalam setiap narasi perang: anak-anak.
Hari ini lahir dari tragedi. Tahun 1982, dunia menyaksikan kekerasan brutal terhadap anak-anak Palestina dan Lebanon dalam konflik Timur Tengah. Dari sanalah PBB menetapkan bahwa tanggal ini menjadi simbol solidaritas global bagi semua anak yang menjadi korban konflik di seluruh dunia. Namun lebih dari empat dekade berlalu, peringatan ini tidak kehilangan maknanya, justru semakin relevan.
Dunia 2025 dan Luka yang Terus Terbuka
Menurut laporan terbaru dari PBB dan UNICEF, situasi anak-anak di medan konflik semakin memprihatinkan. Selama tahun 2024, tercatat lebih dari 42.000 pelanggaran berat terhadap anak dalam situasi perang. Angka ini bukan sekadar statistik. Di baliknya ada anak-anak yang dibunuh, diculik, diperkosa, direkrut sebagai tentara, dan kehilangan akses terhadap pendidikan serta perlindungan dasar.
Sedikitnya 18.000 anak diidentifikasi terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam kelompok bersenjata di lebih dari 15 negara. Sebagian besar dari mereka masih di bawah usia 15 tahun. Sementara itu, lebih dari 3.000 serangan dilaporkan menargetkan sekolah dan rumah sakit, tempat yang seharusnya menjadi ruang aman.
Kawasan seperti Jalur Gaza, Ukraina Timur, wilayah Sahel di Afrika, Myanmar, hingga Sudan menjadi saksi dari kehidupan anak-anak yang dipaksa tumbuh dalam ketakutan. Di Gaza, anak-anak menulis surat bukan tentang cita-cita, melainkan tentang saudara mereka yang hilang tertimbun reruntuhan. Di kamp pengungsi di Bangladesh, anak-anak Rohingya mengulang mimpi buruk yang sama setiap malam. Mereka belum pernah tahu rasa aman seperti apa.
Ketika Dunia Maju, Sebagian Anak Justru Terlupakan
Tahun 2025 menjadi paradoks yang mencolok. Dunia berbicara tentang kemajuan teknologi, kecerdasan buatan, eksplorasi luar angkasa, dan era baru kendaraan ramah lingkungan. Namun pada saat yang sama, ada jutaan anak yang bahkan belum pernah duduk di bangku sekolah. Ada anak-anak yang tumbuh tanpa tahu arti bermain, tanpa pernah mengenal warna cerah selain warna abu-abu debu dan asap.
Ironisnya, sebagian besar dari mereka bukan korban langsung dari konflik yang mereka pahami. Mereka hanya lahir di tempat dan waktu yang salah. Tidak satu pun dari mereka memilih dilahirkan di zona perang, tidak satu pun dari mereka berbuat salah.
Tentu, tidak semua orang bisa turun langsung ke medan konflik. Namun kesadaran adalah langkah pertama yang menentukan. Menyebarkan informasi, menolak narasi yang menormalisasi kekerasan terhadap anak, dan mendorong negara-negara untuk lebih aktif menegakkan perlindungan hukum terhadap anak dalam situasi perang adalah bentuk kontribusi yang nyata.
Selain itu, lembaga-lembaga kemanusiaan internasional membutuhkan dukungan, baik secara finansial maupun politik, untuk tetap bisa menjangkau anak-anak di zona paling terpencil dan berbahaya. Dunia harus berbicara lebih keras saat anak-anak dibungkam oleh kekerasan.
Masa Depan yang Tak Boleh Hilang
Peringatan 4 Juni bukan sekadar mengenang. Ini adalah panggilan nurani. Ini adalah cara dunia mengingatkan dirinya sendiri bahwa masa depan tidak boleh hilang di medan tempur. Bahwa anak-anak berhak mendapatkan perlindungan, bahkan ketika dunia dewasa gagal menciptakan perdamaian.
Satu hal yang pasti: perang selalu menjadi keputusan orang dewasa. Tetapi luka dan kehilangan selalu diwariskan kepada anak-anak. Dan tidak ada yang lebih tidak adil dari itu.