Kisah Marhamah, Jamaah Haji Berusia 104 Tahun “Sebuah Perjalanan yang Dituntun oleh Doa dan Harapan”

Surabaya, headlinejatim.com – Di antara riuhnya ribuan calon jemaah haji yang memadati Asrama Haji Embarkasi Surabaya, seorang perempuan renta duduk tenang di atas kursi roda. Wajahnya keriput, rambutnya memutih, namun matanya jernih dan penuh harap. Ia adalah Marhamah, 104 tahun, perempuan asal pelosok Pamekasan, Madura, yang akhirnya akan menapakkan kaki di Tanah Suci setelah menanti lebih dari seabad hidupnya.

Hari itu, Kamis (29/5/2025), Marhamah tiba di asrama haji didampingi anak kedelapannya, Ayyamah (40). Tak banyak yang tahu perjalanan panjang yang membawanya ke titik ini. Ia bukan siapa-siapa, bukan orang berada, hanya seorang ibu petani dari desa kecil yang sejak lama menyimpan impian besar: beribadah ke Baitullah.

Read More

“Ibu sudah menunggu momen ini sejak enam tahun lalu,” cerita Ayyamah. “Dari hasil bertani yang tidak seberapa, sedikit demi sedikit ia menabung. Tidak pernah menyerah meski usianya terus bertambah.”

Dalam kesederhanaannya, Marhamah membesarkan sepuluh anak. Ia hidup dari tanah, bercocok tanam, merawat kambing, dan memasak dengan kayu bakar. Tapi dalam diam, ia selalu membawa satu doa yang tak pernah putus di setiap sujudnya, agar bisa berhaji sebelum menutup usia.

“Ibu sering bilang, belum sempurna hidup kalau belum bisa melihat Ka’bah,” kenang Ayyamah, suaranya parau. “Kami semua tahu, itu adalah cita-cita terbesarnya.”

Meski tubuhnya kini ringkih dan harus menggunakan kursi roda, semangat Marhamah tidak pernah surut. Ia tetap ingin berangkat. Tidak ada rasa takut, tidak ada ragu, hanya keyakinan dan kerinduan yang mendalam kepada rumah Tuhan.

“Alhamdulillah, saya masih kuat. Ingin sekali saya melihat Ka’bah, berdoa di sana. Itu mimpi saya sejak muda,” ucap Marhamah pelan, senyumnya lembut, matanya berkilat oleh air mata yang tertahan.

Tak banyak orang seusianya yang masih bisa berjalan jauh, apalagi menempuh perjalanan haji lintas benua. Namun Marhamah punya rahasianya sendiri. Hidup sederhana, makan dari alam, dan hati yang lapang. Ia hanya mengonsumsi sayur, lauk rebus, dan menghindari makanan berminyak. Lebih dari itu, ia menjaga hati dan pikirannya tetap bersih. Ia selalu ringan tangan membantu tetangga, meski dirinya sendiri tidak berlebih.

“Ibu tidak pernah mengeluh. Bahkan saat gagal panen atau sakit, beliau tetap bersyukur,” ujar Ayyamah.

Besok sore, Jumat (30/5), Marhamah akan terbang ke Tanah Suci dari Bandara Internasional Juanda. Di usia yang bagi sebagian besar orang sudah menjadi masa istirahat total, Marhamah justru memulai perjalanan paling sakral dalam hidupnya. Di pundaknya, ia membawa lebih dari sekadar koper. Ia membawa harapan, doa, dan cinta yang tulus untuk keluarganya, desanya, dan Tuhannya.

Perjalanan Marhamah adalah pengingat bahwa usia bukan batas untuk bermimpi. Bahwa sebuah keinginan yang diperjuangkan dengan sabar dan ikhlas akan menemukan jalannya, meski harus menempuh waktu yang sangat panjang.

“Saya hanya ingin bisa bersujud di depan Ka’bah. Ingin berterima kasih pada Allah karena memberi saya umur panjang hingga bisa berangkat,” bisik Marhamah, menggenggam erat tangan putrinya.

Di tengah gegap gempita musim haji tahun ini, kisah Marhamah menyentuh banyak hati. Ia bukan hanya jemaah haji tertua, tapi juga simbol keteguhan dan cinta yang tak mengenal batas usia. Ia datang membawa pesan penting: bahwa selama ada keyakinan, doa, dan kesabaran. Mimpi, sekecil apa pun, bisa menjadi kenyataan.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *