headlinejatim.com —Tanggal 28 Mei mencatat dua peringatan penting dalam kalender global. Di satu sisi, ada International Day of Action for Women’s Health, momentum tahunan yang menyoroti pentingnya hak perempuan atas tubuh dan kesehatannya. Di sisi lain, tanggal ini juga menandai lahirnya salah satu organisasi hak asasi manusia paling berpengaruh di dunia—Amnesty International.
Keduanya muncul dari konteks yang berbeda, namun berangkat dari keresahan yang sama: ketidakadilan yang terus berlangsung dan seringkali tak terdengar.
Kesehatan Perempuan: Hak yang Masih Harus Diperjuangkan
Peringatan International Day of Action for Women’s Health pertama kali diserukan pada tahun 1987 oleh jaringan feminis global Women’s Global Network for Reproductive Rights (WGNRR). Sejak itu, setiap 28 Mei menjadi ruang bersama bagi komunitas, aktivis, dan lembaga untuk mengingatkan bahwa kesehatan perempuan bukan sekadar urusan medis, tetapi persoalan hak asasi manusia.
Fokus utama peringatan ini adalah hak perempuan atas layanan kesehatan yang aman, setara, dan berkeadilan, terutama dalam hal kesehatan seksual dan reproduksi, mulai dari akses terhadap kontrasepsi, aborsi aman, perawatan kehamilan, hingga perlindungan dari kekerasan berbasis gender.
Dalam banyak kasus, perempuan masih menghadapi hambatan besar untuk mendapatkan layanan kesehatan yang layak. Stigma budaya, diskriminasi kebijakan, hingga minimnya anggaran menjadi tantangan nyata yang dihadapi perempuan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Amnesty International: Dari Sebuah Artikel, Menjadi Gerakan Global
Juga pada 28 Mei, tepatnya tahun 1961, sebuah artikel di surat kabar The Observer London memicu gelombang solidaritas global. Artikel berjudul “The Forgotten Prisoners” itu ditulis oleh seorang pengacara Inggris bernama Peter Benenson, sebagai respon atas penahanan dua mahasiswa Portugal yang dijebloskan ke penjara hanya karena bersulang untuk kebebasan.
Tulisan itu bukan sekadar opini. Ia menjadi awal kelahiran Amnesty International, organisasi yang kini dikenal luas sebagai garda terdepan dalam advokasi hak asasi manusia di lebih dari 150 negara. Konsep yang diperjuangkan sejak awal adalah prisoners of conscience, mereka yang dipenjara karena keyakinan atau pendapatnya yang disampaikan secara damai.
Seiring waktu, Amnesty memperluas mandatnya. Organisasi ini mengadvokasi penghapusan hukuman mati, perlindungan terhadap pengungsi, kebebasan berekspresi, serta pengungkapan pelanggaran HAM oleh negara dan korporasi.
Hari jadi Amnesty International bukan hanya memperingati sejarah, tetapi juga mengingatkan bahwa kebebasan, martabat, dan keadilan bukanlah hal yang otomatis hadir dalam kehidupan, melainkan sesuatu yang harus terus diperjuangkan.
Dua Gerakan, Satu Tujuan
Meski muncul dari isu dan latar belakang yang berbeda, dua peringatan ini bertemu pada titik yang sama: membangun dunia yang lebih adil dan manusiawi. Kesehatan perempuan dan hak asasi manusia bukan isu terpisah, tetapi saling berkelindan.
Perempuan yang tidak bebas atas tubuhnya tidak akan pernah benar-benar bebas. Masyarakat yang diam atas penindasan tak akan pernah benar-benar merdeka.
28 Mei bukan sekadar tanggal di kalender. Ia adalah pengingat akan pentingnya ruang aman bagi perempuan untuk hidup sehat dan bermartabat. Ia juga pengingat bahwa satu suara bisa memicu gelombang perubahan.
Dari tubuh perempuan hingga ruang tahanan politik, dari klinik kesehatan hingga ruang sidang internasional—perjuangan atas hak manusia terus berlangsung. Dan pada tanggal ini, dunia diajak untuk tidak melupakannya.