Surabaya, headlinejatim.com— Ada ruang-ruang sepi di negeri ini yang dulu pernah menjadi denyut jantung bangsa. Di balik dinding kusam dan rak kaca yang nyaris berdebu, tersimpan ingatan-ingatan panjang tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana seharusnya kita melangkah. Tapi hari ini, ruang-ruang itu semakin jarang dikunjungi, bahkan oleh mereka yang kelak akan mewarisi negeri ini.
Tanggal 18 Mei, dunia memperingati Hari Museum Internasional, sebuah momen yang sejak 1977 dicanangkan oleh International Council of Museums (ICOM) sebagai pengingat akan pentingnya museum dalam pendidikan, riset, dan pertukaran budaya. Tahun ini, tema global yang diusung adalah “Museums for Education and Research”, sebuah seruan agar museum tidak sekadar menjadi tempat menyimpan benda tua, tetapi menjadi rumah bagi ilmu pengetahuan dan titik temu berbagai generasi.
Dunia merayakannya dengan gegap gempita. Lebih dari 37.000 museum di 150 negara menyusun program edukatif, menggelar pameran interaktif, hingga menghadirkan teknologi yang membuat sejarah serasa hidup kembali. Tapi di Indonesia, negeri dengan 400 museum, suasana justru sebaliknya. Suara museum terdengar lirih, nyaris tenggelam di tengah hiruk-pikuk era digital.
Asosiasi Museum Indonesia mencatat penurunan kunjungan hingga 35% dalam lima tahun terakhir, terutama dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Generasi muda lebih memilih layar ponsel ketimbang menyusuri jejak-jejak sejarah bangsanya. Museum dianggap usang, kaku, dan tak relevan. Sebuah tragedi sunyi yang makin hari makin nyata.
Padahal, museum bukan sekadar ruang pajang barang kuno. Ia adalah tempat bangsa belajar mengenali dirinya. Di Museum Sumpah Pemuda, semangat persatuan yang lahir tahun 1928 masih bergetar dalam lantunan lagu Indonesia Raya. Di Museum Konferensi Asia Afrika, gema antikolonialisme masih bergaung di balik podium bersejarah. Dan di Museum Nasional Jakarta, koleksi ribuan artefak membentang dari prasejarah hingga era kemerdekaan, semuanya menunggu untuk dikenang, dipahami, diwariskan.
Tapi siapakah yang masih mendengarkan?
Almarhumah Herawati Diah, jurnalis perempuan pertama Indonesia, pernah menulis: “Bangsa yang tidak mencintai sejarahnya akan kehilangan masa depannya.” Kini, kutipan itu tidak lagi terasa seperti nasihat. Ia telah menjelma menjadi alarm. Kita sedang menghadapi krisis yang tak terlihat, “krisis identitas kultural”.
“Anak-anak kita tahu siapa Thor dan Iron Man, tapi gagap saat ditanya tentang Cut Nyak Dien atau Ki Hajar Dewantara,” ujar Dr. Nugroho Setyawan, pakar budaya dari Universitas Negeri Yogyakarta. Menurutnya, ini bukan semata soal minat, tapi soal kegagalan kolektif: kurikulum yang minim narasi sejarah hidup, museum yang tidak terintegrasi dalam sistem pendidikan, dan negara yang belum sepenuhnya hadir dalam menyelamatkan memori kolektif bangsa.
Pemerintah memang mencatat beberapa langkah, namun belum cukup. Banyak museum masih kekurangan anggaran, tenaga edukator, dan belum terjangkau digitalisasi yang menyeluruh. Di saat generasi muda hidup di dunia yang terhubung 24 jam melalui internet, koleksi sejarah kita masih terkurung di lemari kaca.
Lalu, apa yang harus kita lakukan?
Kita harus mulai dari keluarga, dari ruang kelas, dari komunitas kecil yang mencintai budaya. Museum harus dihidupkan kembali, bukan dengan sekadar renovasi gedung, tapi dengan membuatnya relevan. Digitalisasi koleksi, integrasi dalam kurikulum, pelibatan anak muda sebagai kreator konten sejarah, serta kolaborasi lintas sektor adalah kunci untuk membuka kembali pintu-pintu museum yang selama ini tertutup debu.
Hari ini, 18 Mei 2025, bukan sekadar peringatan. Ia adalah cermin yang memantulkan tanya: masihkah kita peduli pada kisah kita sendiri? Karena jika kita terus menjauh dari sejarah, maka museum hanya akan menjadi bangunan tua yang dipelihara tanpa makna, seperti nisan dari bangsa yang melupakan dirinya sendiri.