Dari Gerobak Jamu ke Tanah Suci, Perjalanan Iman Bu Diyem

Penulis : Heru D Sudarmanto

headlinejatim.com — Perjalanan panjang penuh peluh akhirnya mengantarkan Diyem Wiryo Rejo ke Tanah Suci. Perempuan 65 tahun asal Gedongan, Kota Mojokerto, itu tak pernah menyangka, dari gerobak jamu yang ia dorong setiap hari, impiannya menunaikan ibadah haji kini menjadi nyata. Ia tergabung dalam kloter 47 jemaah haji asal Jawa Timur dan akan terbang ke Arab Saudi, Kamis (15/5) pukul 10.20 WIB.

Read More

“Alhamdulillah, setelah mendaftar haji pada tahun 2012, tahun 2025 ini saya bisa berangkat ke Tanah Suci. Senang dan bersyukur sekali rasanya,” ucapnya penuh haru saat ditemui di Asrama Haji Embarkasi Surabaya, Rabu (14/5).

Tak ada jalan instan dalam kisah Bu Diyem. Sejak kecil ia sudah akrab dengan kerasnya kehidupan. Pada usia 11 tahun, ia mulai menjajakan jamu gendong keliling kampung. “Tahun 1970 saya mulai jualan. Berat sekali. Anak-anak seusia saya masih main, saya sudah keliling jualan jamu. Kalau capek dan belum ada yang beli, saya duduk dulu. Nahan sakit di punggung karena beban jamu,” kenangnya.

Bertahun-tahun kemudian, kebiasaan menabung jadi kebiasaan sakral bagi ibu tiga anak ini. Ia menyisihkan hasil jualan jamu sedikit demi sedikit di rumah, lalu menyetorkannya ke bank jika sudah mencapai satu juta rupiah. “Kalau ada rezeki, bisa sebulan dapat satu juta. Tapi kalau sepi, bisa berbulan-bulan. Yang penting saya disiplin nabung,” ceritanya.

Setelah 10 tahun konsisten menabung, ia berhasil mengumpulkan Rp25 juta, cukup untuk mendaftar haji. Suaminya yang bekerja sebagai penjual nasi goreng pun melakukan hal serupa. Bersama-sama, pasangan ini akhirnya mendaftar dan kini siap berangkat.

Bu Diyem mengaku awalnya keinginan berhaji belum terlalu kuat. Namun nasihat sederhana dari seorang teman membuka hatinya. “Teman saya bilang, kalau kamu ada tabungan, daftar haji saja. Dari situ saya mulai mantap,” ujarnya.

Dari hasil berjualan jamu keliling menggunakan gerobak dorong, Bu Diyem bisa mengantongi Rp100 ribu hingga Rp200 ribu per hari. “Kalau sepi, ya tidak tentu. Yang penting balik modal,” ujarnya sambil tersenyum.

Meski usianya tak lagi muda, semangatnya tetap menyala. Bahkan saat hendak berangkat haji pun, ia mengaku masih aktif berjualan. “Kalau tidak jualan, badan rasanya pegal semua. Anak-anak sudah melarang, tapi Alhamdulillah badan saya masih kuat dan bisa mandiri,” tuturnya.

Kini, setelah lebih dari lima dekade mengayuh langkah sebagai penjual jamu, Bu Diyem memetik buah dari ketekunan dan kesabarannya. “Semoga di Tanah Suci nanti saya dan suami diberikan kemudahan dalam beribadah,” ucapnya lirih, matanya berkaca-kaca menahan haru.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *