Lupus: Ketika Tubuh Melawan Dirinya Sendiri

headlinejatim.comSetiap tanggal 10 Mei, dunia berhenti sejenak untuk memberi ruang bagi suara yang sering luput terdengar—suara para pejuang lupus. Mereka tak mengenakan seragam perang, namun tubuh mereka sendiri adalah medan tempur yang tak pernah hening. Inilah makna dari Hari Lupus Sedunia (World Lupus Day): mengangkat kisah mereka ke permukaan, menghadirkan kesadaran bahwa penyakit ini nyata, kompleks, dan sangat manusiawi.

Lupus bukan sekadar penyakit. Ia adalah pengkhianatan halus dari tubuh terhadap dirinya sendiri. Dalam istilah medis, lupus dikenal sebagai penyakit autoimun kronis. Sistem imun yang seharusnya melindungi, justru menyerang organ dan jaringan sehat—kulit, sendi, ginjal, paru-paru, bahkan otak. Gejalanya pun kerap menipu: demam tanpa sebab, ruam berbentuk kupu-kupu di wajah, nyeri sendi, dan kelelahan yang tak tertanggungkan. Karena itulah, lupus sering disebut sebagai “penyakit seribu wajah.”

Read More

Penyakit ini tak pandang usia, namun sebagian besar penderitanya adalah perempuan muda dalam masa paling produktif hidupnya. Saat dunia menuntut mereka berlari, lupus memaksa mereka berjalan pelan “kadang merangkak” sambil menahan sakit yang tak terlihat.

10 Mei 2004, suara-suara kecil itu mulai bersatu. Dari Kanada hingga Afrika Selatan, dari Jepang hingga Indonesia, para penderita lupus dan keluarganya menyerukan satu hal: dunia harus peduli. Mereka menandatangani sebuah deklarasi yang dikenal sebagai World Lupus Day Proclamation, yang menyerukan peningkatan riset, akses pengobatan, dan pendidikan tentang lupus. Sejak hari itu, tanggal 10 Mei menjadi tonggak solidaritas global.

Di panggung dunia, nama Selena Gomez menjadi titik balik dalam mengenalkan lupus ke publik luas. Saat ia mengungkap bahwa dirinya menderita lupus dan harus menjalani transplantasi ginjal, jutaan penggemarnya mulai mencari tahu apa itu lupus. Ia menjadi simbol kekuatan dalam kesenyapan.

Di Indonesia, perjuangan itu tak kalah kuat. Yayasan Lupus Indonesia, yang digagas oleh dokter-dokter dan para penyintas, menjadi cahaya bagi ribuan orang yang sempat merasa sendirian. Sosok seperti alm. Putri Raemawasti, finalis Puteri Indonesia yang wafat karena lupus, menjadi pengingat bahwa keanggunan dan ketabahan bisa berdiri berdampingan.

Setiap kampanye lupus selalu membawa simbol kupu-kupu berwarna ungu. Kupu-kupu, karena ruam khas lupus yang muncul di pipi menyerupai bentuk sayapnya. Ungu, karena ia adalah warna keberanian dalam kelembutan. Sebuah metafora yang sempurna untuk menggambarkan mereka yang hidup dengan lupus.

Di berbagai penjuru dunia, gedung-gedung menyala ungu di malam 10 Mei. Bukan sekadar dekorasi, tapi cahaya solidaritas. Sebuah pesan bahwa mereka yang sakit tidak sedang berjalan sendirian.

Lupus Hari Ini: Masih Ada Jalan Panjang

Lupus belum punya obat penyembuh. Tapi bukan berarti harapan padam. Ilmu pengetahuan terus melangkah, komunitas terus bertumbuh, dan kesadaran makin meluas. Di Indonesia, seminar, pemeriksaan kesehatan gratis, hingga kampanye digital terus digaungkan. Hashtag seperti #WorldLupusDay dan #EndLupusNow membanjiri media sosial, bukti bahwa suara mereka semakin keras dan tak bisa diabaikan lagi. Hari Lupus Sedunia bukan hanya tentang penyakit. Ia tentang manusia. Tentang ibu yang tetap tersenyum di tengah nyeri sendi yang membakar. Tentang anak muda yang tetap mengejar mimpi meski tubuhnya terus melemah. Tentang harapan, tentang cinta, tentang hidup yang tidak mudah namun tetap indah.

Mereka tidak meminta dikasihani. Mereka hanya ingin didengarkan. Maka pada 10 Mei ini, mari berhenti sejenak. Dengarkan. Pahami. Lalu suarakan.

Karena lupus memang tak menular. Tapi kepedulian, bisa.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *