“Saya pikir cuma masuk angin biasa. Tapi ternyata itu kanker. Kanker ovarium.”—Fitri, 39 tahun, Surabaya.
headlinejatim.com —Tak ada yang siap mendengar kata itu ”kanker”. Apalagi bagi perempuan yang selama ini terbiasa merawat orang lain, tapi lupa merawat dirinya sendiri. Fitri adalah satu dari sekian banyak perempuan yang bertarung diam-diam dengan penyakit yang juga diam-diam membunuh.
Setiap tanggal 8 Mei, dunia memperingati Hari Kanker Ovarium Sedunia. Tapi tak banyak yang benar-benar tahu betapa sunyinya penyakit ini bekerja. Ia hadir tanpa permisi, menyamar sebagai gangguan pencernaan biasa, dan sering datang terlambat untuk bisa disembuhkan.
Ketika Perempuan Diam, Tubuh Berteriak
Kanker ovarium disebut sebagai silent killer. Ia tak menimbulkan alarm keras. Hanya perut yang mulai terasa berat, nafsu makan yang perlahan hilang, buang air kecil yang makin sering. Seringkali, itu diabaikan. Dibilang ‘cuma maag’ atau ‘efek stres’. Hingga akhirnya, semuanya terlambat.
“Tubuh perempuan punya cara berteriak. Kita saja yang sering tak mendengarnya,” ujar Fitri pelan.
Hari Kanker Ovarium Sedunia adalah ajakan lembut namun mendesak: kenali tubuhmu, dengarkan sinyalnya, dan jangan takut mencari tahu. Karena semakin cepat diketahui, semakin besar peluang untuk hidup lebih lama, bahkan sembuh.
Dan Di Tempat Lain, Seorang Relawan Sedang Memanggul Harapan
Di hari yang sama, dunia juga memperingati Hari Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Sedunia, mengenang kelahiran Henry Dunant, pemuda Swiss yang tak tahan melihat luka perang yang dibiarkan begitu saja. Ia tak bisa berdiam diri. Maka lahirlah ide besar: sebuah organisasi netral yang menolong siapa saja, di mana saja, tanpa memandang warna kulit, agama, atau ideologi.
Dari semangat itulah, lahir Palang Merah Indonesia. Para relawan tak selalu berseragam, tapi mereka selalu ada: saat banjir datang tengah malam, saat gempa mengguncang desa terpencil, atau saat darah dibutuhkan cepat di rumah sakit kecil.
“Kami tak ditanya nama. Kami hanya ditanya: bisa bantu?” kata Aldi, relawan PMI yang sudah 8 tahun turun ke bencana.
Dua Kisah, Satu Napas: Menyelamatkan yang Bisa Diselamatkan
Perempuan yang sedang berjuang di ruang kemoterapi. Relawan yang masih berjaga di posko pengungsian. Keduanya tak saling kenal. Tapi keduanya sedang melakukan hal yang sama: bertahan demi hidup orang lain, atau hidupnya sendiri.
Tanggal 8 Mei menyatukan keduanya. Di hari ini, kita diingatkan bahwa menyelamatkan nyawa bukan tugas segelintir orang. Itu tugas kita semua. Mulai dari langkah kecil: membaca, menyebarkan informasi, berdonor darah, hingga menemani teman yang sedang berjuang melawan penyakitnya.
Jika Kita Mau Sedikit Lebih Peduli…
Kita bisa mengenakan warna teal, simbol kanker ovarium, sebagai bentuk solidaritas.
Kita bisa datang ke unit donor darah terdekat, karena mungkin satu kantong darah akan menyelamatkan seseorang yang tak pernah kita kenal.
Kita bisa berbagi informasi, karena satu unggahanmu bisa menyadarkan satu orang untuk periksa lebih dini.
Kita bisa jadi relawan, atau mendukung mereka yang memilih jalan sunyi itu.
Karena Kemanusiaan Tak Butuh Izin untuk Memulai
Tak semua orang bisa jadi dokter. Tak semua orang bisa jadi relawan. Tapi setiap orang bisa jadi manusia yang lebih peduli.
8 Mei bukan hari besar di kalender. Tapi ia bisa jadi hari besar dalam hidup seseorang—seseorang yang tahu bahwa ada yang peduli pada tubuhnya, atau bahwa ada yang datang menolong ketika hidupnya terguncang.
Hari ini, mari kita rayakan mereka yang bertahan dan mereka yang menolong. Karena di dunia yang bising ini, kadang suara sunyi lah yang paling menyelamatkan.
#HariKankerOvarium #HariPalangMerah #8MeiUntukKemanusiaan #DeteksiDini #RelawanPMI #KisahPerempuan