headlinejatim.com — Setiap pagi, matahari bangkit dari ufuk timur. Ia tidak pernah bertanya siapa yang layak disinari. Ia tidak memilih siapa yang akan hangat dan siapa yang akan tetap dingin. Ia hanya memberi sepenuh hati, sepenuh cahaya.
Namun kita, manusia, begitu sering lupa.
Lupa bahwa di atas kepala kita, ada anugerah yang tak terhingga.
Lupa bahwa di balik panas yang menyengat, tersembunyi harapan paling bersih untuk bumi yang sekarat.
Hari ini, 3 Mei, adalah Hari Surya Sedunia.
Tapi ini bukan hanya hari untuk mengingat matahari, ini adalah hari untuk menghargai apa yang selama ini kita abaikan.
Sebuah Janji dari Langit
3 Mei Tahun 1978. Dunia diliputi krisis. Bumi menjerit dalam diam. Tapi di tengah gelapnya ketergantungan, seseorang melihat terang: Presiden Jimmy Carter memasang panel surya di Gedung Putih, bukan hanya sebagai simbol, tapi sebagai janji bahwa masa depan bisa bercahaya, asal kita mau percaya.
Hari itu diberi nama Sun Day. Hari untuk menengadah, bukan untuk mengeluh. Hari untuk melihat ke langit dan berkata, “Kami siap berubah. Kami ingin hidup, bukan hanya bertahan.”
Tenaga yang Tidak Minta Bayaran
Tenaga surya tidak datang dari sumur minyak yang berdarah. Ia tidak mencemari sungai, tidak meracuni udara, tidak menggusur hutan. Ia hadir dengan damai. Dan anehnya, kita justru menolaknya.
Kita lebih memilih energi yang membakar bumi daripada energi yang mencintainya.
Kita lebih nyaman hidup dari yang mengeruk, daripada dari yang memberi tanpa mengambil.
Padahal, matahari tidak pernah meminta bayaran untuk hidup yang diberikannya.
Indonesia: Terang yang Masih Tidur
Tanah air kita diberkahi matahari sepanjang tahun. Tetapi berkah itu lebih banyak dipandangi, bukan dimanfaatkan. Di negeri yang terang, kita masih berjalan dalam bayang-bayang. Bayang-bayang ketergantungan, kelalaian, dan keserakahan.
Potensi energi surya di Indonesia mencapai lebih dari 3.294 gigawatt peak (GWp). Jumlah yang cukup untuk menyalakan negeri ini berlipat kali. Namun hingga tahun 2024, kapasitas terpasangnya baru sekitar 718 megawatt (MW). Target pemerintah pun tergolong sederhana: 870 MW pada 2025. Bahkan program PLTS atap yang ditujukan untuk rumah tangga dan sektor industri baru berjalan sebagian dari potensi 3.600 MW. Seolah-olah kita hanya menyentuh permukaan samudera terang yang membentang di atas kepala.
Hari Surya Sedunia adalah kesempatan kedua. Kesempatan untuk bangun sebelum panas berubah menjadi bencana. Kesempatan untuk berkata:
“Kami ingin hidup selaras, bukan melawan alam.”
Karena Matahari Tidak Pernah Menyerah
Ia terbit setiap hari, meski sering diacuhkan. Ia tetap bersinar, meski langit ditutupi awan. Matahari tidak pernah lelah.
Lalu mengapa kita menyerah duluan?
Hari Surya Sedunia bukan hanya milik para aktivis atau ilmuwan. Ia milik setiap jiwa yang percaya bahwa dunia bisa diselamatkan. Bukan oleh teknologi canggih atau janji politik, tapi oleh kesadaran sederhana: bahwa cahaya sudah ada, tinggal kita menyalakannya.
Jika kau berdiri pagi ini, rasakan hangat di kulitmu. Itu bukan sekadar panas. Itu adalah panggilan dari langit, agar kita mulai hidup dengan cara yang lebih bijak, lebih bersih, dan lebih manusiawi.
Karena di balik setiap cahaya matahari, tersimpan janji masa depan yang selama ini menunggu untuk diperjuangkan.