Jakarta, headlinejatim.com— Di tengah sorotan publik terhadap dampak lingkungan pembangkit listrik, PLN Nusantara Power (PLN NP) justru membalik narasi: limbah bukan masalah, tapi solusi. Melalui Unit Pembangkitan (UP) Pacitan, PLN NP menyulap limbah Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dari PLTU Pacitan menjadi pondasi infrastruktur wisata di Sungai Maron, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur — destinasi yang lama terpinggirkan, kini bangkit sebagai ikon ekowisata berbasis sirkular ekonomi.
Sepanjang 2024, lebih dari 10.000 ton FABA dimanfaatkan untuk membangun akses jalan, gapura wisata, loket tiket, hingga papan petunjuk arah. Material yang sebelumnya dianggap tak bernilai ini kini menjadi tulang punggung pengembangan kawasan wisata hijau. Konsep ini bukan hanya efisien secara biaya, tetapi juga mengurangi residu limbah PLTU secara signifikan.
Direktur Utama PLN NP, Ruly Firmansyah, menegaskan bahwa transformasi ini merupakan langkah konkret dalam menyatukan energi, lingkungan, dan masyarakat.
“Kami tidak sedang mempercantik wisata, kami sedang membangun masa depan. FABA adalah bukti bahwa inovasi lingkungan bisa berdampak sosial dan ekonomi secara langsung,” ujarnya.
Sungai Maron, yang dijuluki “Amazon-nya Indonesia”, selama ini dikenal karena keindahan alaminya namun tertinggal secara fasilitas dan tata kelola. Infrastruktur minim, pengelolaan sampah buruk, dan produk lokal tak terserap pasar. Melihat potensi yang tak tergarap, PLN NP turun tangan dengan pendekatan menyeluruh: infrastruktur hijau berbasis FABA dipadukan dengan program pemberdayaan masyarakat.
Lewat program CSR, PLN NP menyasar akar persoalan:
1. Pelatihan pengelolaan sampah organik-anorganik
2. Edukasi digital marketing dan rescue wisata air
3. Pendampingan legalitas produk UMKM hingga BPOM
4. Pelestarian budaya dan pengembangan ekonomi sirkular
Semua dilakukan agar pariwisata tak hanya menggoda mata, tapi juga menghidupi masyarakat dan menjaga bumi.
Konsep wisata berkelanjutan ini menjadi contoh konkret bagaimana BUMN energi tidak sekadar menghasilkan listrik, tapi juga mentransformasi kawasan melalui inovasi limbah dan kolaborasi sosial.
Jika berhasil direplikasi, model Sungai Maron bisa menjadi cetak biru pengelolaan limbah terintegrasi dengan pengembangan ekonomi lokal—dari limbah jadi berkah, dari pinggiran jadi pusat perhatian.