headlinejatim.com — Di sebuah dunia yang bergerak secepat klik layar, tanggal 29 April mungkin hanya lewat sekilas di linimasa kita. Namun bagi mereka yang memahami denyut budaya, hari ini adalah panggung sunyi yang memanggil kita untuk bertanya: masihkah kita menari untuk negeri ini?
Hari Tari Internasional, yang ditetapkan UNESCO sejak 1982, bukan sekadar seremonial belaka. Ia lahir dari jiwa seorang lelaki bernama Jean-Georges Noverre, seorang revolusioner dalam dunia tari yang percaya bahwa gerak tubuh adalah bahasa jiwa.
Noverre tidak ingin tari hanya jadi tontonan kosong. Baginya, di balik setiap lengkung tangan dan derap kaki, harus ada cerita tentang manusia, tentang peradaban.
Kini, lebih dari dua abad kemudian, di tanah Nusantara yang kaya beribu-ribu tarian, kita dihadapkan pada tantangan baru. Bukan lagi kolonialisme bersenjata, melainkan kolonialisme wacana, disinformasi, dan budaya instan.
Di tangan-tangan generasi muda yang akrab dengan dunia digital, tari-tari tradisional kita menari lagi, tetapi kadang kehilangan napasnya. Mereka tampil dalam video berdurasi satu menit, dipoles, dipercepat, dimeriahkan.
Apakah itu salah? Tidak sepenuhnya.
Tapi kita harus bertanya lebih dalam: apakah kita masih membawa ruh tari itu sendiri, atau hanya membungkusnya demi viralitas semata?
Lihatlah Saman dari Aceh. Dengarlah Bedhaya Ketawang dari Solo. Saksikan tari Caci dari Flores.
Mereka bukan sekadar koreografi. Mereka adalah doa. Mereka adalah hikmah. Mereka adalah perlawanan terhadap lupa.
Di era saat satu kabar bohong bisa tersebar lebih cepat dari pada sebuah fakta, di mana budaya lokal mudah diklaim, dikerdilkan, bahkan dihapuskan, siapa lagi kalau bukan kita yang harus berdiri menjaga tari-tari ini?
Mengikuti jejak Noverre, kita harus menghidupkan kembali tarian dengan rasa. Membaca kisahnya. Mengerti maknanya. Menari bukan untuk menghibur semata, tetapi untuk mengingat.
Bahwa leluhur kita menulis sejarah mereka bukan dengan tinta, tetapi dengan gerakan tubuh.
Generasi muda Nusantara, ini bukan sekadar panggilan untuk tampil,
tetapi untuk menjadi.
Menjadi penjaga. Menjadi pencerita. Menjadi pewaris yang sadar bahwa dalam setiap lenggok tubuhmu, ada bangsa yang hidup dan berharap.
Di antara hiruk pikuk dunia digital,
masihkah kita mau menari bukan hanya untuk dilihat,
tetapi untuk diwariskan?
Karena mungkin, di masa depan, saat dunia makin cepat melupa,
hanya tarianlah yang akan mengingatkan siapa kita.