headlinejatim.com —Pagi itu, Jakarta murung.
Langit bergelayut rendah, seolah ikut menahan napas.
Di sebuah sudut rumah sakit CBZ, seorang lelaki muda terbaring, tubuhnya menyusut, suaranya hilang, matanya setengah terbuka, seakan masih berusaha menantang dunia yang sebentar lagi akan meninggalkannya.
Ia adalah Chairil Anwar.
Dan hari itu, 28 April 1949, ia pergi — bukan sekadar wafat, melainkan berubah menjadi suara yang abadi.
Anak Kecil yang Tak Pernah Mau Diam
Chairil lahir di Medan, 26 Juli 1922. Sejak kecil, ia bukan anak yang mudah diatur. Ia bukan tipe anak yang duduk rapi di kelas, mencatat pelajaran, atau mengejar pujian. Ia lebih sering duduk di sudut, membolak-balik buku tebal berbahasa asing, mengeja kata-kata yang bahkan gurunya sendiri mungkin tak mengerti.
Ia tumbuh dalam dua dunia:
Satu dunia mengajarinya bagaimana menjadi “baik” — patuh, sopan, menurut.
Dunia lain — dunia yang Chairil pilih — mengajarinya bagaimana menjadi hidup.
Di matanya, hidup bukan tentang tunduk. Hidup adalah tentang berteriak, bahkan ketika suara kita hilang di tengah kebisingan dunia.
Hidup dari Napas yang Hampir Putus
Chairil datang ke Jakarta bersama ibunya setelah keluarganya berantakan.
Jakarta, saat itu, bukan kota yang ramah.
Ia menyaksikan penjajahan, kemiskinan, pemberontakan — semua luka dunia dewasa ia lihat dalam usia muda.
Tubuhnya kecil, tapi amarahnya besar.
Ia menulis untuk bertahan hidup, lebih dari sekadar mencari nafkah — ia menulis untuk tetap ada.
Dalam tiap larik puisi, ia bertarung:
Melawan kemiskinan.
Melawan penyakit yang diam-diam merayap di dadanya.
Melawan keheningan yang semakin dalam.
“Aku ini binatang jalang,
Dari kumpulannya terbuang.”
Itu bukan sekadar puisi.
Itu adalah ratapan seorang anak manusia yang menolak tunduk pada dunia yang menganggapnya tidak penting.
Setiap Puisi, Setiap Kata, Adalah Nyawanya Sendiri
Chairil tahu hidupnya pendek. Ia tahu kematian menguntitnya dari balik jendela-jendela sepi.
Maka ia menulis secepat ia bernapas, seolah setiap sajak adalah nafas terakhirnya yang direkam dalam kata.
Puisinya tak berbunga-bunga.
Ia menulis dengan darah, dengan luka, dengan kegagalan, dengan kehilangan.
Dalam bait-bait kecil itu, Chairil mengajarkan kita sesuatu yang sulit:
Bahwa hidup itu tidak adil — dan kita tetap harus mencintainya.
Dalam “Derai-derai Cemara”, ia berbicara seperti seseorang yang sudah berdamai dengan kematian:
“Hidup hanya menunda kekalahan…”
Bukan dengan ketakutan, tapi dengan keberanian kecil — keberanian untuk tetap berjalan meski tahu akhirnya adalah kehampaan.
Ketika Tubuh Mati, Kata-kata Terus Hidup
Pagi itu, saat tubuh Chairil menjadi dingin, dunia mungkin mengira ia telah selesai.
Tapi justru di saat itu, ia mulai berbicara lebih keras dari sebelumnya.
Puisinya melompat dari buku ke buku, dari bibir ke bibir, dari satu generasi ke generasi lain.
Ia, yang seumur hidupnya miskin dan diabaikan, justru menjadi puncak mercusuar sastra Indonesia.
Pemerintah menetapkan 28 April sebagai Hari Puisi Nasional —
Bukan karena Chairil menginginkannya,
Tetapi karena tak ada yang bisa melupakan suara kecil yang dulu berkata:
“Sekali berarti,
Sudah itu mati.”
Chairil telah mengerti satu hal yang sederhana tapi mematikan:
Bahwa hidup bukan soal lamanya,
Tetapi seberapa dalam kita meninggalkan jejak di hati sesama.
Chairil Anwar adalah Kita Semua
Di setiap orang yang merasa asing di tengah keramaian,
Di setiap anak muda yang memberontak mencari suara sendiri,
Di setiap jiwa yang memilih jujur meski dunia mengutuknya,
Di sanalah Chairil Anwar hidup.
Ia adalah bagian dari luka kita.
Bagian dari harapan kita.
Bagian dari ketakutan kita untuk mati sebelum benar-benar hidup.
Dan mungkin, diam-diam, dalam tiap langkah kita yang sunyi,
kita sedang membawa sepotong nyawa Chairil Anwar bersama kita.
Selamat Hari Puisi Nasional.
Selamat merayakan keberanian untuk tetap hidup — walau dunia berkata sebaliknya.