22 April, Simbol Bumi Melawan, Tapi Raksasa Plastik Tak Pernah Ditahan

headlinejatim.com — Dari sedotan hingga sampah sachet, plastik telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat Indonesia. Namun di balik kenyamanan itu, tersimpan ancaman jangka panjang yang menggerogoti bumi sedikit demi sedikit. Pada Hari Bumi 2025, dunia bersatu dalam seruan lantang: “Planet vs. Plastics”. Pertanyaannya, di kubu mana kita berdiri?

Hari Bumi pertama kali diperingati pada 22 April 1970, dipelopori oleh Senator Gaylord Nelson dari Amerika Serikat sebagai respons terhadap meningkatnya polusi dan kerusakan lingkungan. Sekitar 20 juta orang ikut serta dalam aksi tersebut untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pelestarian bumi. Sejak itu, peringatan Hari Bumi menjadi momentum tahunan global untuk meninjau kembali hubungan manusia dengan lingkungan.

Read More

Lebih dari 400 juta ton plastik diproduksi setiap tahun di seluruh dunia. Sekitar 40% di antaranya hanya dipakai sekali lalu dibuang. Di Indonesia, lebih dari 60% sampah plastik berakhir tidak terkelola, mencemari laut dan merusak rantai makanan. Ironisnya, sebagian besar limbah itu berasal dari produk konsumsi sehari-hari, dari rumah tangga biasa.

Kampanye lingkungan sering menekankan perubahan gaya hidup individu: bawa tas belanja sendiri, kurangi sedotan plastik, daur ulang sampah. Tapi realitanya, 70% sampah plastik global bersumber dari hanya 20 perusahaan raksasa, termasuk produsen plastik kemasan makanan dan minuman.

Indonesia sendiri masih bergantung pada kemasan sekali pakai, terutama dari sektor industri makanan skala besar. Saat tanggung jawab terus dilemparkan ke konsumen, pertanyaan penting muncul: mengapa industri tidak dipaksa berinovasi dalam kemasan ramah lingkungan?

Tema Hari Bumi tahun ini menuntut pengurangan 60% produksi plastik hingga 2040. Tapi tanpa kebijakan tegas dan sanksi berat terhadap pelanggaran, target itu hanya akan jadi jargon tahunan.

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah memiliki roadmap pengurangan sampah plastik laut sebesar 70% pada 2025. Namun implementasi di lapangan masih lemah. Banyak perusahaan besar tetap memakai plastik sekali pakai tanpa konsekuensi nyata.

Di tengah kelamnya data, beberapa inisiatif lokal muncul sebagai cahaya. Di Surabaya, misalnya, bank sampah digital tumbuh subur, memudahkan warga menjual sampah plastiknya. Di Bali, komunitas seperti Bye Bye Plastic Bags mendorong sekolah bebas plastik.

Tapi upaya ini tak akan cukup jika industri tetap bermain aman di balik regulasi longgar. Hari Bumi 2025 bukan soal merayakan alam, tapi mempertanyakan siapa yang menghancurkannya. Di tengah narasi besar “Planet vs. Plastics,” kita tak bisa hanya menyalahkan konsumen atau berharap pada daur ulang. Saatnya sorotan diarahkan pada para raksasa industri dan kebijakan publik yang terlalu lunak.

Karena jika bumi akhirnya kalah, kita semua ikut tumbang.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *