headlinejatim.com – Di halaman sekolah sebuah SMP di Sleman, Yogyakarta, belasan siswa berseragam cokelat lengkap tengah bersiap memulai latihan Pramuka. Di antara mereka, ada Raka, 13 tahun, yang matanya berbinar saat menggenggam tali pramuka. Ia dengan sigap mempraktikkan simpul pangkal dan mati, lalu tersenyum bangga ketika Kakak Pembina memujinya.
“Kalau besar aku ingin jadi tentara. Katanya Pramuka bisa melatih keberanian dan tanggung jawab,” ujarnya polos, tanpa ragu.
Sementara itu, hanya berjarak sekitar 15 kilometer dari sekolah Raka, di trotoar sekitar Pasar Beringharjo, seorang anak seusianya menyeka keringat. Aldi, 12 tahun, mengenakan kaos kusam dan membawa kantong plastik berisi tisu dan permen. Ia menyapa setiap pengendara yang berhenti di lampu merah. Hari ini belum ada yang membeli.
“Aku biasa bantu ibu cari uang. Kalau cukup, kami bisa beli nasi bungkus berdua,” katanya pelan.
Hari ini, 12 April. Tanggal yang bagi sebagian besar rakyat Indonesia dikenal sebagai Hari Bapak Pramuka Indonesia, dan bagi dunia internasional diperingati sebagai Hari Anak Jalanan Internasional. Dua peringatan yang lahir dari latar belakang berbeda, tapi menyoroti tema besar yang sama: masa depan anak-anak.
Jejak Sejarah: Dari Keraton Yogyakarta hingga Halaman Sekolah
Enam dekade lalu, pada 12 April 1961, Presiden Soekarno menandatangani Keputusan Presiden Nomor 238 Tahun 1961. Lewat keputusan itu, Gerakan Pramuka ditetapkan sebagai organisasi kepanduan tunggal di Indonesia, menggantikan lebih dari 60 organisasi serupa yang sebelumnya terpecah.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX diangkat sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka pertama, dan sejak itu dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia.
Visinya sederhana tapi mendalam: Pramuka harus menjadi tempat anak muda ditempa secara fisik, mental, dan sosial. Di tengah ketidakpastian pasca-kemerdekaan, pendidikan karakter melalui Pramuka menjadi pondasi membangun generasi yang mandiri dan cinta tanah air.
Gerakan Pramuka menyebar ke seluruh negeri. Dari kota hingga pelosok, anak-anak diajak belajar hidup mandiri, membangun solidaritas, dan peduli lingkungan. Seragam cokelat itu menjadi simbol harapan, pelatihan jiwa kepemimpinan yang tak tergantikan oleh teori semata.
Anak Jalanan: Mereka yang Tak Terlihat
Namun tanggal 12 April juga menyimpan sisi lain kehidupan anak-anak yang tak berseragam, tak punya tempat tinggal tetap, dan sering tak punya masa depan yang pasti.
Pada tahun 2011, Consortium for Street Children (CSC) yang berbasis di Inggris menetapkan 12 April sebagai Hari Anak Jalanan Internasional (International Day for Street Children). Inisiatif ini muncul dari keresahan global atas tumbuhnya angka anak-anak jalanan yang terabaikan oleh sistem sosial dan hukum.
Di Indonesia sendiri, data Bappenas dan Kemensos tahun 2022, menunjukkan lebih dari 16.000 anak hidup di jalanan. Mereka menjadi pengamen, pemulung, penjual tisu, bahkan korban eksploitasi seksual dan kekerasan.
Seperti Aldi. Ia tinggal bersama ibunya di kolong jembatan, tak pernah mengenyam pendidikan formal. “Aku suka lihat anak sekolah. Tapi malu kalau dekat-dekat,” katanya sambil menunduk.
Bagi Aldi, tanggal 12 April hanya hari biasa. Tidak ada upacara, tidak ada bendera, tidak ada seragam. Tapi setiap langkah kecilnya menyusuri trotoar adalah perjuangan yang tak kalah berat.
Dua Dunia, Satu Bangsa
Ironi itu terasa nyata: satu anak dilatih untuk masa depan lewat kegiatan yang terstruktur dan terarah, sementara anak lainnya bertahan hidup dari simpati dan harapan.
Namun dua peringatan ini seharusnya tidak dipertentangkan. Sebaliknya, keduanya menjadi pengingat moral bahwa membentuk karakter tanpa membangun keadilan sosial adalah kerja yang timpang.
Jika Pramuka adalah simbol pendidikan karakter, maka Hari Anak Jalanan adalah alarm agar sistem kita tidak hanya fokus pada yang terdata dan terjangkau, tapi juga mereka yang tercecer dan tak terjamah.
Karakter bukan hanya tentang kedisiplinan dan keberanian, tetapi juga kepedulian dan keberpihakan.
Membangun Masa Depan, Bersama-Sama
Kita boleh bangga dengan capaian pendidikan karakter lewat Gerakan Pramuka. Tapi kita juga wajib prihatin bahwa masih banyak anak seperti Aldi yang bahkan tidak sempat belajar mengenali potensi dirinya.
Harapan ke depan, peringatan 12 April tak hanya menjadi seremoni atau tren media sosial. Tapi menjadi refleksi kolektif, tentang seberapa jauh kita telah melibatkan seluruh anak dalam cita-cita besar bangsa.
Pemerintah, masyarakat, lembaga sosial, dunia pendidikan, dan individu memiliki peran masing-masing. Bukan hanya menyantuni sesekali, tetapi membuka ruang partisipasi anak-anak jalanan dalam sistem pendidikan, pelatihan vokasi, hingga program perlindungan sosial yang berkelanjutan.
Seperti kata Sri Sultan Hamengku Buwono IX, “Pramuka adalah alat pendidikan yang paling cocok untuk membentuk watak anak bangsa.” Kini saatnya alat itu menjangkau lebih luas, tidak hanya mereka yang berada di halaman sekolah, tetapi juga yang tumbuh di pinggir jalan.
Karena bangsa ini akan kuat bukan karena satu generasi emas, tapi karena semua anak, baik yang berseragam maupun yang tak punya seragam dan punya kesempatan yang sama untuk tumbuh, bermimpi, dan berkontribusi.