Di Balik 11 April, “Mereka yang Tak Tercatat Tapi Mengubah Sejarah”

headlinejatim.com – 11 April bukan sekadar penanda waktu. Ia adalah tanggal yang menyimpan denyut keberanian, pengorbanan, dan jeritan sunyi yang tak selalu terdengar. Di baliknya, ada tubuh-tubuh yang terus bergetar, suara-suara yang menuntut hak, dan nyawa-nyawa yang dikorbankan demi bangsa. Tanggal ini tidak berbicara lantang, tapi ia bicara dalam.

Lebih dari dua abad lalu, seorang dokter bernama James Parkinson berjalan menyusuri gang-gang London, mengamati pasien-pasien yang tubuhnya gemetar tanpa sebab. Bukan hanya sebagai ilmuwan, tapi sebagai seorang manusia yang mencoba memahami penderitaan diam-diam itu. Dari sana lahirlah sebuah tulisan medis yang mengubah dunia: An Essay on the Shaking Palsy (1817). Namun, dunia sering lupa bahwa Parkinson bukan hanya pencatat penyakit. Ia juga seorang aktivis sosial yang menyerukan hak suara bagi rakyat kecil, di masa ketika berbicara terlalu keras bisa berarti dikucilkan atau dipenjara.

Read More

Kini, penyakit yang membawa namanya menyerang jutaan orang di seluruh dunia. Bukan penyakit yang membunuh cepat, tapi mencuri perlahan. Tulip merah dijadikan simbolnya—bunga yang mekar dalam diam, seperti para penyintas yang terus berdiri meski tubuh mereka tak lagi sepenuhnya patuh. Di ruang-ruang terapi, di komunitas-komunitas kecil yang saling menguatkan, kita bisa melihat warisan Dr. Parkinson yang hidup dalam bentuk paling nyata: empati.

Masih dari dunia kesehatan, 11 April juga menjadi titik ingatan pada perjuangan melawan Tuberkulosis, Penyakit yang dulu dianggap kutukan, kini bisa ditaklukkan berkat penemuan antibiotik oleh ilmuwan seperti Selman Waksman. Tapi di banyak pelosok dunia, TBC belum selesai. Ia tetap hidup di gang-gang sempit, di rumah-rumah berdinding seng, menunggu untuk dikenali. Di tempat-tempat itulah semangat ilmuwan dan tenaga medis diuji, bukan di laboratorium, tapi di lapangan yang keras dan penuh batas.

Di sektor yang jauh dari sorotan, International Labour Organization (ILO) menjadikan 11 April sebagai panggung pengingat: para pekerja tambang masih mempertaruhkan nyawanya setiap hari. Di lorong-lorong sempit di bawah tanah, di mana cahaya matahari tak pernah masuk, ada laki-laki yang menggenggam palu dengan tangan kapalan, demi sesuap nasi untuk anak-anak mereka. ILO berbicara tentang mereka, tentang hak yang mestinya tak perlu diminta: hak untuk pulang dengan selamat.

Lalu ada Juan Santamaría, seorang anak pengangkut air dari Kosta Rika, yang pada tahun 1856 rela maju seorang diri untuk membakar markas musuh demi mempertahankan tanah air. Ia tahu ia tak akan kembali hidup. Tapi ia berjalan juga. Santamaría bukan jenderal. Ia bukan politisi. Ia hanya anak muda biasa, yang keberaniannya membuatnya abadi dalam sejarah negaranya. Ia menjadi simbol Hari Pahlawan Nasional, yang jatuh setiap 11 April.

Sementara di Uganda, tanggal yang sama menjadi peringatan pembebasan dari kekuasaan diktator. Bukan kemenangan yang diraih dengan kemewahan, tapi hasil dari keberanian rakyat yang menolak diam. Sejarah di sana ditulis dengan darah dan keteguhan, bukan dengan tinta emas.

Semua kisah ini memiliki satu benang merah: 11 April adalah hari bagi mereka yang tak menyerah. Bukan mereka yang terkenal, tapi mereka yang memilih berdiri ketika lebih mudah untuk duduk dan diam. Mereka yang mengubah dunia bukan dengan gebrakan, tapi dengan ketekunan, kepedulian, dan tekad yang tak hancur meski terus ditekan.

Di tengah gegap gempita dunia digital yang cepat melupakan, 11 April datang sebagai pengingat: bahwa kisah-kisah paling menyentuh seringkali terjadi dalam senyap. Dan bahwa dunia bergerak maju bukan hanya karena mereka yang bicara lantang, tapi juga karena mereka yang terus bertahan, meski dalam diam.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *