headlinejatim.com – Langit bukan sekadar ruang kosong di atas kepala kita. Bagi bangsa Indonesia, langit adalah medan perjuangan, ruang ilmu pengetahuan, dan tempat jiwa-jiwa besar menempa takdirnya. Setiap 9 April, Hari TNI Angkatan Udara diperingati bukan hanya untuk mengingat kekuatan militer, tapi untuk meresapi makna pengabdian dari mereka yang memilih terbang tinggi demi merah putih.
Sejarah Hari TNI AU: Saat Langit Menjadi Arena Revolusi
Hari TNI Angkatan Udara diperingati setiap 9 April, merujuk pada tanggal 9 April 1946, saat TNI AU secara resmi dibentuk dan diakui sebagai bagian dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang merupakan cikal bakal TNI.
Kala itu, situasi Indonesia belum benar-benar damai. Ancaman datang dari Belanda yang berusaha kembali menancapkan kolonialisme. Di tengah keterbatasan armada dan teknologi, para pemuda Indonesia memberanikan diri mengoperasikan pesawat-pesawat peninggalan Jepang. Penerbangan pertama di masa kemerdekaan dilakukan di Pangkalan Udara Maguwo (kini Lanud Adisutjipto), Yogyakarta—markas awal lahirnya kekuatan udara Indonesia.
Tanggal tersebut kemudian ditetapkan sebagai hari bersejarah, bukan karena parade atau kemenangan besar, tapi karena itulah momen pertama langit Indonesia dinyatakan akan dijaga oleh bangsa sendiri.
Soerjadi Soerjadarma: Arsitek Langit Indonesia
Lahir di Bandung pada 1912, Soerjadi Soerjadarma tumbuh di bawah bayang kolonial. Tapi di sanubarinya, tertanam keyakinan bahwa langit adalah bagian dari harga diri bangsa. Setelah pendidikan di Koninklijke Militaire Academie, Belanda, ia menjadi salah satu dari sedikit perwira udara pribumi.
Ketika Indonesia merdeka, Soerjadarma dipercaya membangun dan memimpin TNI AU dari nol: tanpa armada modern, tanpa radar, hanya dengan tekad. Ia mendirikan sekolah penerbang pertama di Yogyakarta, mendidik calon pilot dari kalangan rakyat biasa, dan mengirim kader ke luar negeri untuk belajar ilmu aviasi. Ia bukan hanya komandan—ia adalah ayah spiritual dunia dirgantara Indonesia.
B.J. Habibie: Teknokrat Langit yang Menyulam Mimpi Bangsa
Jauh dari Bandung, di Parepare, Sulawesi Selatan, tahun 1936 lahirlah seorang anak bernama Bacharuddin Jusuf Habibie. Sejak muda, ia punya obsesi aneh—menghitung kekuatan sayap pesawat. Saat teman-temannya bermain, Habibie membaca rumus dan menggambar mesin terbang.
Ia kuliah di Jerman, jadi insinyur jenius, dan nyaris tak kembali ke tanah air. Tapi nasionalisme Habibie bukan di bibir, melainkan di langkahnya. Ia pulang dan memimpin proyek ambisius: membuat pesawat buatan Indonesia. Dari sinilah lahir N250 Gatotkaca, simbol lompatan teknologi dan martabat bangsa. Dunia tercengang. Dan Indonesia berdiri tegak, bukan karena jumlah jet tempur, tapi karena kepercayaan diri sebagai bangsa besar.
Makna Hari TNI AU bagi Generasi Muda
Hari TNI AU bukan hari seremonial. Ia adalah peringatan tentang keberanian bermimpi, tentang pengabdian sunyi, dan tentang cinta tanah air yang diwujudkan dalam tindakan nyata. Soerjadarma dan Habibie menunjukkan bahwa membela negara bisa lewat langit—lewat sekolah, pabrik, laboratorium, bahkan doa di kokpit pesawat.
Bagi generasi muda, ini bukan soal menjadi tentara atau insinyur. Tapi soal menemukan panggilan hidup dan mempersembahkannya untuk Indonesia.
Karena langit Indonesia tak hanya butuh penjaga. Ia butuh pemimpi. Pemikir. Dan pejuang yang mencintai negeri ini sedalam-dalamnya.