headlinejatim.com – Hari ini, 17 Maret 2025, adalah hari Senin. Bagi banyak orang, ini mungkin hanya tanggal biasa dalam kalender. Namun, tahukah Anda bahwa 17 Maret memiliki makna besar dalam sejarah perjuangan Indonesia?
Di balik perjuangan bersenjata, ada sosok-sosok yang berjuang di garis belakang, mempertaruhkan nyawa dengan cara berbeda. Salah satunya adalah Annie Senduk, seorang perawat yang tak hanya mengabdikan diri di dunia kesehatan, tetapi juga ikut berjuang melawan penjajah.
Saat masa revolusi kemerdekaan (1945-1948), kondisi Jakarta begitu mencekam. Pasukan Kekaisaran Jepang masih mengawasi gerak-gerik para pejuang. Di Asrama Kedokteran di Jalan Kramat Raya 72, para tenaga kesehatan—terutama mahasiswa kedokteran dan perawat—menjadi bagian dari pergerakan bawah tanah. Mereka bukan hanya merawat para pejuang yang terluka, tetapi juga menyebarkan pamflet perjuangan untuk membangkitkan semangat rakyat.
Suatu hari, seorang mahasiswa kedokteran datang dengan wajah cemas ke asrama. “Markas di Hotel Pavilyon, Harmoni, sudah diketahui Jepang!” katanya. Padahal, di tempat itu tersimpan dokumen penting para pejuang, serta persediaan obat-obatan yang sangat dibutuhkan. Jika dokumen itu jatuh ke tangan musuh, nyawa banyak orang bisa terancam.
Tanpa ragu, Annie segera bertindak. Ia membagi tugas kepada teman-temannya. Yang bisa menyetir diminta tetap di asrama, sementara tim lainnya bersiap menuju Harmoni untuk menyelamatkan logistik. Bersama asistennya, Sietje, Annie bergegas mengayuh sepeda menuju Rumah Sakit Cikini untuk mencari pinjaman mobil.
Setelah mendapatkan kendaraan, mereka segera kembali. Dengan sigap, Suwardjono Suryaningrat, Mahar Mardjono, Hussein Odon, Alex Kaligis, Yusuf, dan mahasiswa lainnya memindahkan semua dokumen dan obat-obatan sebelum Jepang tiba.
Bukan kali ini saja Annie mengambil risiko besar. Sebelumnya, saat Jepang mengusir Belanda dari Hindia Belanda, Annie dan rakyat menyerbu gudang persediaan obat dan makanan di dekat Kolam Renang Cikini (sekarang SMP Negeri 1). “Rakyat berbondong-bondong mencari rezeki ‘nomplok’,“ kenangnya dalam memoarnya di Sumbangsihku bagi Pertiwi Jilid I.
Annie mengenal dunia perjuangan sejak belajar di Rumah Sakit Cikini pada 1938. Hidup di asrama membuatnya melihat ketimpangan sosial dengan mata kepala sendiri. Kaum Belanda hidup berkecukupan, menikmati roti dan keju dengan mudah, sementara rakyat bumiputra harus berjuang sekadar untuk makan.
Kesadaran itu mengantarkannya pada Dr. Suharto (yang kelak menjadi dokter pribadi Presiden Soekarno) dan Dr. Mohtar, dua dokter yang aktif dalam pergerakan kemerdekaan. Dari mereka, Annie belajar bahwa perjuangan tak hanya dilakukan dengan senjata, tetapi juga dengan ilmu, keberanian, dan pengorbanan.
Kini, nama Annie Senduk mungkin tak setenar para pahlawan di medan perang. Namun, perjuangannya sebagai perawat di tengah revolusi membuktikan bahwa kemerdekaan Indonesia diraih berkat keberanian banyak pihak—termasuk mereka yang bertugas menyembuhkan, melindungi, dan menyelamatkan. (dikutip dari berbagai sumber)
SELAMAT MEMPERINGATI HARI PERAWAT NASIONAL